2001_Oktober_Edisi 129_Sekitar Kita:
Menakar Akustik Gedung Pertunjukan
Rohman Yuliawan/Nila/Joni Faizal
Percayalah Anda bahwa sampai saat ini Gedung Kesenian Jakarta merupakan bangunan dengan rancangan akustik terbaik di antara gedung-gedung kesenian yang ada di Jakarta? Paling tidak demikian menurut penilaian Totom Susilo Kodrat, perancang sekaligus konsultan akustik beberapa studio rekaman dan gedung kesenian di Jakarta. Menurut Totom, Jika deberi penilaian maka Gedung Kesenian Jakarta—yang dibangun Belanda tahun 1821 dengan nama Schawbung itu memperoleh nilai 8,5 plus dibanding gedung lainnya. Nilai yang sama juga harus diberikan kepada auditorium pertunjukan Erasmus Huis-dibangun oleh arsitek Belanda, Grabowsky—Tokyo dan Institute of Sound Technic, Jepang ini, nilai plus wajib diberikan kepada Gedung Kesenian Jakarta Karena Kapasitasnya penontonnya jauh lebih banyak. Dengan banyak penonton, pengaturan akustiknya jauh lebih sulit dibandingkan dengan gedung kapastas 200 kursi seperti Eramus Huis.
“Di GKJ, ibaratnya jarum jatuh di atas panggung pun dapat kita dengarkan dari segala penjuru. Suara dari luar pun tidak banyak mengganggu.” Kata Totom, yang pernah menjadi koordinator rekaman orkes simponi Guruh Soekarno Putra di Jepang sekaligus perancang tata suara di Balai Sidang ini.
Penilaian yang sama juga datang dari Dari Madjid, stage manager acara Art Summit Indonesia 3 bulan lalu. Menurut pentolan Teater Koma ini, GKJ cukup bagus dari segi akustiknya, tetapi panggungnya lebih kecil . “Kekurangan dan kelebihan itulah yang harus bisa kita pergunakan. Sebagai seorang artis kita akan selalu meng-create sesuatu yang ada, begitu pula beradaptasi dengan gedung. Ya, disesuaikan dengan apa yang akan kita pentaskan. Jadi, si pemainlah yang mustinya menyesuaikan diri,” papar Sari Madjid.
Kebutuhan akustik sebuah gedung menjadi penting, terlebih apabila vokal atau alat musik yang diharapkan saat pertunjukkan tidak prima. Gedung yang memperhatikan akustiknya, juga sangat berarti untuk lingkungannya. Artinya, bukan seniman saja yang tidak mau diganggu oleh suara yang berasal dari luar gedung, melainkan juga lingkungan luar pun tidak ingin terganggu oleh acara yang ada di dalamnya.
“Gedung yang sedang mementaskan musik rock, tidak banyak lingkungan suka. Dan di sinilah peranan akustik gedung diperlukan. Akustik yang baik mampu meredam itu, “aku Totom pula.
Sementara gedung-gedung lain, menurut penilaian Totom berada di bawahnya. Termasuk Teater Tanah Airku di areal TMII, yang merupakan garapan Totom. Totom sendiri menurut pengankuannya akustik gedung ini tidak terlalu sempurna mengingat masa pembangunannya waktunya sangat singkat. Kendala lain,waktu itu, perencanaan yang telah dilakukan harus dikalahkan dengan visual atau estetika bangunan, selain ada kendala harga yang mahal dan tidak tersedianya bahan-bahan yang diperlukan.
“Jadi, kalau ada geledek atau hujan, suaranya bisa masuk dan terdengar samar-samar, “aku Totom. “Gedung ini bolehlah mendapat nilai tujuh,” papar Totom tentang teater yang dapat menampung 1000 orang penonton.
Untuk gedung Graha Bhakti Budaya-Taman Ismail Marzuki (GBB-TIM), harus diakui akustiknya tidak terlalu baik. Tetapi untuk kapasitas penonton, gedung ini mampu menampung penonton yang banyak. Sound yang ada di GBB_TIM, menurut Totom pula, sering terlalu keras dan berlebihan. Padahal di telinga penonton terdengar dengan jelas sudah cukup. Separohnya saja sudah cukup. “Tapi entah mengapa ada banyak sound,” ujar Totom heran.
Di Yogyakarta
Kalau memperbincangkan kualitas akustik, maka auditorium PPG Kesenian sampai saat ini masih terbilang lumayan, menyusul Societet Militer dan auditorium Lambaga Indonesia Perancis (LIP) baru kemudian Taman Budaya. “Namun keempatnya memiliki kelemahan yang sama, masih ada bocoran suara dari luar gedung, meskipun intensitasnya berlainan untu setiap gedung,” nilai Tri Sugiharto dari teater Garasi-lah barangkali teater paling produktif saat ini yang secara empirik telah banyak belajar dari gedung-gedung tersebut.
Clink berpendapat, akustik suatu ruang pertunjukan dinilai bagus apabila tidak ada intrusi suara dari luar ruang. Distribusi suara dari panggung dapat terbagi merata tanpa alat bantu dan suara yang keluar terdistorsi reverberasi (gaung) terlalu besar suara langsung hilang terserap. Di keempat gedung tersebut, apabila dilakukan penyiasatan yang tepat, seperti penataan tata suara maupun penyesuaian output suara, akan dapat diperoleh suara keluaran yang lumayan bagus. “Pada dasarnya kualitas akustik gedung pertunjukan tergantung pada kebutuhan pemakai. Jika gaung berlebihan malah menjadi efek yang dibutuhkan dalam suatu pertunjukkan, maka kelemahan akustik gedung itu malahan bermanfaat secara artistik” tambah Clink.
Tri Joko dari Taman Budaya Yogyakarta berpendapat bahwa interior gedung pertunjukan juga berpengaruh besar pada kualitas akustik. Harus dihindari adanya kolom atau tiang dalam gedung, sementara bagian langit-langit dibuat tinggi, adanya ruang di atas bagian panggung dan dinding kedap suara menjadi standar interior gedung pertunjukkan.
Tri Joko dari Taman Budaya Yogyakarta berpendapat bahwa interior gedung pertunjukan juga berpengaruh besar pada kualitas akustik. Harus dihindari adanya kolom atau tiang dalam gedung, sementara kenapa suara menjadi standar interior gedung pertunjukan.
Tri Joko mengakui Panti Wurya Taman Budaya, gedung pertunjukan tanpa dinding pembatas, jauh dari ideal sebagai gedung pertunjukan apabila ditilik dari kualitas akustiknya. “Namun dari lebar ruang, panggung dan fasilitas pendukung yang ada, gedung ini tetap dibanjiri permohonan untuk barbagai pertunjukan,” kata Tri Joko. Permasalahan dinding terbuka dapat disiasati dengan menambahkan pembatas di sekililing ruang pertunjukan, sebagaimana sering dilakukan pada pementasan teater.
Akustik yang baik menjadi jiwa dari pertunjukan terutama teater dan music. Jadi, sangat beralasan jika banyak penonton yang kesal hanya gara-gara ponsel seseorang penonton berdering. Dan wajar mereka ini sering dianggap tidak tahu etika akustik.
Leave a Reply