2000_Agustus_Edisi 115_lingkungan:
memberi nilai lebih pada hujan
Joni Faizal
Di beberapa wilayah di kota-kota besar, seperti Jakarta. Bandung dan Surabaya, air kini menjadi barang langka. Air tanah kini yang dulunya dapat menjadi sumber air penduduk, sekarang tidak dapat diandalkan lagi. Sementara itu, dengan semakin padatnya penduduk, kebutuhan akan air menjadi semakin meningkat.
Laporan Penelitian yang pernah dilaksanakan oleh PAM Jaya bersama Pusat Penelitian dan Pengembangan Perairan dan Direktorat Geologi Tata Lingkungan, menunjukkan semakin luasnya daerah yang mengalami penurunan muka air tanah. Daerah tersebut terutama di sekitar Cengkareng (Jakarta Barat) dan Tanjung Priok (Jakarta Utara) yang cenderung melebar ke Selatan. Dampak penurunan permukaan air tanah ini bukan tanpa masalah. Di sebagian tempat di Tanjung Priok misalnya, kualitas air menjadi semakin buruk akibat penyusupan (intrusi) air laut. Amblasnya permukaan tanah (land subsidence) juga dampak lain dari turunnya air tanah ini yang akan menurunkan daya dukung kota dan akan sangat mempengaruhi keberadaan bangunan-bangunan tinggi dan prasarana kota.
Ironisnya, di tengah kesulitan air tersebut, hujan yang melimpah umumnya dibiarkan saja terbuang. Hanya sedikit dari masyarakat yang mau memanfaatkannya. Padahal, jika air hujan mau dimanfaatkan, hampir sebagian kebutuhan air dapat ditanggulangi, seperti untuk mencuci, mandi, wc, menyiram taman, mencuci kendaraan, dan lain-lain. Teknologi pemanfaatan hujan inilah yang kini sedang terus dimasyarakatkan oleh Mutiara Hujan, sebuah yayasan konservasi hujan yang berdiri awal tahun 2000 lalu.
Secara sederhana system teknologi yang dilakukan oleh Mutiara Hujan ini meliputi system pengumpulan, penyimpanan, dan pemanfaatan hujan. Penampungan hujan dilakukan dengan membuat bak-bak (tanon) penampungan, yang kemudian pengoperasiannya dilakukan dengan system pemipaan secara khusus. Teknologi pemanfaatan hujan ini disusun berdasarkan fungsi-fungsi seperti, pengumpulan hujan, penyimpanan hujan, penentuan syarat hujan, pendistribusian, pengaliran hujan yang berlebih dan pengisian bak penampungan di musim kering.
“Diharapkan dengan teknologi pemanfaatan hujan ini masyarakat dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan airnya dan yang tidak kalah penting adalah menjaga kelestarian sirkulasi air alami serta menciptakan keharmonisan antara penataan lingkuangn perkotaan dan curah hujan,” ungkap Sigit Wijaksono, Direktur Eksekutif Yayasan Mutiara Hujan.
Perhitungan Sigit begini, jika jumlah rupiah di Jakarta 2.204.288 buah per segi dan curah hujan turun 1800 mm/tahun, maka potensi simpanan air adalah 60m2/rumah X 1,8 m/tahun x 2.204.288 rumah. Artinya, aka nada 238,7 juta meter kubik air hujan per tahun. Jumlah ini jauh melebihi kapasitas produksi PDAM Jakarta atau setara dengan bendungan raksasa.
Namun sayanganya teknologi ini belum banyak diirik masyarakat. Hal ini menurut Sigit tidak lepas dari persepsi masyarakat tentang hujan yang perlu diubah. Misalnya sebagian masyarakat menganggap bahwa hujan tidak dapat digunakan untuk minum, sehingga mereka menolak untuk memanfaatkanya. Yang kedua, masyarakat belum atau tidak terbiasa menggunakan hujan sebagai sumber air bersih untuk kegunaan selain air minum. Bersamaan dengan itu, di kalangan perencanaan bangunan dan kebijakan masih menganggap bahwa hujan tidak bisa dimanfaatkan sebagai sumber penyediaan air, karena teknologinya belum mereka ketahui.
Berdasarkan pengalaman ini pula berbagai forum tidak jarang Sigit mengusulkan agar para perencana bangunan juga turut menciptakan teknologi yang berwawasan lingkungan serta mendukung usaha konservasi hujan agar bisa bermanfaat.
Kalau saja rumah tinggal, kompleks perumahan, tempat ibadah, gedung-gedung perkantoran, taman dan jalan-jalan perkotaan dimanfaatkan dibuatkan teknologi pemanfaatan hujan, setidaknya masalah air di tahun-tahun mendatang dapat diatasi. Sebab kota-kota di Indonesia (menurut pembagian Falkenmark, 1988) termasuk dalam kategori daerah kekurangan air dalam batas ambang kebutuhan. Dalam pengertian ini air diperkotaan akan selalu dilanda kekeringan di musim kemarau. Sudah begini, jadilah air seharga mutiara.
Leave a Reply