2001_Agustus_Edisi 127_Bahas:
Media ‘dari, untuk dan oleh’ komunitas
Ade Tanesia
“Memang kami tidak memiliki uang dan teknologi, tapi kami berhak untuk menciptakan dunia yang berbeda, di mana kami bisa melihat dan menilai diri kami sendiri.” Ungkapan ini dengan lantang diutarakan oleh Ursula Oswald, seorang ahli pertanian asal Brazil yang mengamati persoalan globalisasi di bidang media.
Kegelisahan Ursula bukannya tanpa alasan, dalam diskusi yag digelar CNN, Gerry Levin dari AOL Time Warner mengatakan bahwa media global akan menjadi industri dominan di abad ini dengan kekuasaan yang melampaui pemerintahan. Yang menjadi masalah bukanlah persoalan komunitas nomaden di padang gurun bisa menonton Baywatch, tetapi bagaimana logika seseorang dapat dibentuk tanpa melalui proses perdebatan. Bayangan bahwa sebuah media dapat membuka wawasan berpikir seseorang, mendorong terjadinya proses demokratisasi, menjadi sebuah slogan klise, jika pada kenyataannya pilihan dan distribusi informasi dimonopoli oleh segelintir perusahaan raksasa. Menurut investigasi majalah Utne Reader di Amerika, kini ada 5 perusahaan media besar yaitu Viacom, Gannett, Knight-Ridder, Hearst dan Time Warner yang memiliki 75 majalah utama, 150 koran dan 9 jaringan kabel yang mendunia. Dan yang menjadi pertanyaan besar, apakah akan muncul masyarakat yang sehat jika penyebaran informasi hanya dipegang oleh kelima perusahaan ini? Dunia yang kita pahami adalah dunia semua yang dibentuk oleh realitas media versi mereka. Seperti yang dikatakan editor majalah New Internasionalist bahwa dominasi perusahaan raksasa media haya mengisolasi kita sebagai konsumen, menjual cerita kita kepada kita sendiri, mendefinisikan jati diri kita sesuai pandangannya.”
Pada konteks inilah media komunitas menjadi sangat penting untuk tetap memerdekakan masyarakat. Seperti yang diaktakan oleh Budi Komarrul Zaman atau akrab dipanggil Pak Budi KZ, staf pengajar dari jurusan FISIP UGM bahwa media komunitas telah menjebol dinding keseragaman informasi. Di Indonesia saja, jenis berita dan sudut pandang yang disajikan oleh 5 stasiun televsisi swasta besar sangat mirip satu sama lain. Jika masyarakat terus dihujani dengan berita-berita seragam, bukankah ini sama dengan proses indoktrinasi, serta menghambat proses demokratisasi seperti yang dilansir dalam laporan MacBride bahwa kini komunikasi dan informasi adalah masalah hak asasi manusia.
Di Indonesia, walaupun demokrasi sudah digembar gemborkan, namun arus informasi dan komunikasi top-down, baik dari segelintir kelompok maupun pemerintah, perlu segera didobrak dan digantikan dengan modal bottom-up. Hermin Indah Wahyuni, staf pengajar jurusan Komunikasi UGM, mengegaskan bahwa model bottom-up seperti media komunitas merupakan cara sangat baik, karena dari situlah masyarakat belajar bagaimana mengaktualiasasikan eksistensi mereka sebagai warga yang berhak ikut berperan dalam ruang-ruang kepentingan yang ada. “Idealnya sebuah media komunitas memiliki akar yang menghujam kuat pada komunitas yang melahirkannya. Ini berarti media yang dibangun digagas dan dihidupi oleh komunitas dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan komunitas tersebut.”
Pertumbuhan media komunitas sudah marak diberbagai Negara, sebagai contoh Pak Budi KZ, menyebut beberapa Negara di Afrika dimana warga masyarakat dibekali pelatihan jurnalistik untuk kemudian memediasikan informasi mengenai Buletin Angkringan yang diupayakan oleh komunitas Timbulharjo Jogjakarta, juga Entho Cothot (EC) “ Cemilan Informasi Mingguan, Bikin Gemuk Pikiran bagi warga desa Kandangan Temanggung, atau media Jejal yang dilansir oleh komunitas ini tidaklah dibangun dengan modal besar. Tampilannya sangat sederhana, bahkan ada yang menggunakan teknologi cetak Xerox. Namun siapa yang sangka bahwa proses pembelajaran semacam inilah yang akan memperkuat sebuah komunitas.
Leave a Reply