1996_mula Desember _Edisi 058_bahas:
Media Alternatif
Ketidakpuasan atas kemapanan. Ketidakpuasan atas tawaran yang dirasa menyebabkan penyeragaman sudut pandang, nampaknya jadi penyebab maraknya istilah “alternative”. Mulai dari aliran musik sampai media cetak, semua memakai hal baru, hal yang biasanya berada di pinggiran, dan hal yang memberikan pilihan lain.
Membahas (khusus) tentang media alternative, akan mengajak kita menelusuri perkembangan media cetak di tahun 1960-an, saat gerakan anti kemapanan, anti peperangan, dan berbagai gerakan “anti-anti” lainnya mulai menjamur. Ketika masyarakat mulai jenuh dengan pemberitaan media yang menjadi rujukan utama (mainstream), yang dianggap seragam dan menyuarakan kepentingan satu pihak saja, media alternative pun mulai menunjukkan wujudnya.
Kelahiran media alternative memang tidak bisa dilepaskan dari fenomena pers bawah tanah (underground press), yang biasanya menyerukan suara anti pemerintah yang tengah berkuasa. Namun, pada perkembangannya, ada beberapa hal yang menjadi pembeda di antara keduanya, salah satunya adalah keterbukaan mereka untuk “diketahui” masyarakat. Tidak seperti media alternative, pers bawah tanah sering kali harus menyembunyikan identitas para perancangnya, bahkan tidak jarang mereka mencantumkan nama-nama samaran atau alamat PO BOX. Sementara itu, perkembangan media alternative (dewasa ini) mengantarkan penerbitnya ke jalan yang lebih “aman”. Bahasan atau berita yang mereka sajikan tidak lagi berbau “perjuangan”. Banyak di antara mereka yang menyandang predikat media alternative karena menyajikan hal yang tidak lumrah untuk dijadikan topic atau headline dari sebuah media cetak pada umumnya. Sebagai gambaran, ketika Time atau Newsweek menurunkan berita perang di Afganistan, The Idler memilih tema “patuh” untuk salah satu edisinya.
Bermulanya Pers Bawah Tanah (Underground Press)
Kelahiran Pers Bawah Tanah tidak dapat dilepaskan dari 2 hal, kaum muda dan ekspresi kekecewaan mereka terhadap media yang telah mapan.
Pada awalnya kemunculannya di tahun 1960-an, pers ini menyuarakan aspirasi kaum muda yang anti perang (Vietnam). Karena itu, banyak Pers Bawah Tanah akhirnya harus pula gulung tikar. Mereka kehilangan konteks bagi keberadaan mereka sendiri.
Sebuah terbitan yang dilahirkan oleh Pers Bawah Tanah dapat dikenali dari ciri-cirinya, seperti; (1) Cetakan mereka tidak selalu menggunakan plat besi. Mereka bisa saja menggunakan mesin ketik biasa, bahkan tulisan tangan. Prinsipnya, asal murah dan dapat tampil berbeda. (2) Tata letak media ini cenderung “semaunya”, kadang miring, diagonal, atau terbalik. (3) Bahasan mereka seringkali mewakili suara orang-orang yang dianggap sebagai “korban” (4) Mereka “tergila-gila” dengan topik seperti perang, hak asasi manusia, pencemaran lingkungan, gender, dan hal-hal lain yang dianggap tengah menjadi masalah tetapi kurang ditangani oleh pihak penguasa.
Abe Peck, dalam bukunya Uncovering the Sixties: The Life and Times of the Underground Press, melukiskan perbedaan antara pers “pada umumnya” dengan pers Bawah Tanah dalam kalimat, “Pers kebanyakan menulis berita kriminal, apresiasi kesenian, dan Dick Tracy. Sedang Pers Bawah Tanah menulis berita demonstrasi, apresiasi (musik) rock, dan The Fabulous Furry Freak Brother, tokoh kartun yang sering terlibat dalam perdagangan obat bius,yang seharunya menjadi kerajaan Dick Tracy”.
Pers bawah tanah sering disebut sebagai bagian dari kemunculan Jurnalisme Baru (New Journalism). Istilah ini mulai merebak tahun 1960-an, untuk melukiskan jenis penulisan yang sulit didefinisikan jenisnya, dan Pers Bawah Tanah termasuk dalam jenis ini.
Beberapa terbitan yang dikategorikan sebagai Jurnalisme Baru adalah:
(1)Advocacy Jounalism, satu bentuk jurnalisme yang menolak tradisi objektivitas, (2) Literary Journalism, yang menggunakan pemaparan non fiksi gaya baru. (3) Alternative Jounalism, yang melibatkan pendapat kelompok kecil/minoritas. (4) Precision Journalism, yang menggunakan teknik pengumpulan berita yang lebih ilmiah.
Satu hal yang kemudian “menggoyahkan” keberadaan Pers Bawah Tanah, menurut Profesor Theodore J. Lowi adalah mulai diliriknya persoalan-persoalan mereka oleh pers mapan (sebagai lawan dari pers bawah tanah). Berita tentang kekecewaan masyarakat terhadap perang atau terhadap hak-hak wanita kemudian menjadi berita yang dimuat menjadi berita pada umunya. Masyarakat tidak perlu kasak-kusuk mencari berita tentang persoalan tersebut, karena pada pagi hari mereka dapat memperolehnya dari koran yang biasa mereka baca.
Media Alternatif…Dalam Definisi Para Ahli?
david T. Hill, staf pengajar di Universitas Murdoch, Australia, dalam tulisannya “Yang Alternatif dan Yang Menyimpang”, menyebutkan ciri media alternative antara lain adalah:
(1)memiliki ide kritis yang tidak ditemukan dalam media mapan (2) mempunyai sistem pengedaran yang lain daripada sistem komersial (3) menuntut pembaca menjadi lebih aktif, melibatkan diri dalam proses peliputan, konsumsi, dan penafsiran informasi yang dimuat.
Sementara itu, Hiebert dalam bukunya Mss Media: an Introduction to Moders Communication, menulis factor yang mendorong munculnya media alternative antara lain; (1) kesadaran bahwa informasi melalui media massa dapat menggerakkan masyarakat. Dengan pandangan seperti ini, media alternative kemudian menjadi identik dengan pers pergerakan. Seperti awal kemunculannya di Amerika, yang tidak dapat dilepaskan dari gerakan anti-perang Vietnam dan feminism, (2) walapun tetap ada penindasan dan penekanan terhadap media massa tetapi masyarakat dan pemerintah lebih permisif, (3)teknologi memudahkan dan memungkinkan media untuk diterbitkan dengan modal yang kecil, (4) munculnya kelompok yang tidak puas dengan media massa yang konvensional.
Media Alternatif di Inggris
Paling tidak ada dua hal yang dapat diidentifikasi dari media alternative di Inggris, ada yang berdasar pada satu komunitas, sementara yang lainnya mengungkap gaya hidup pembacanya.
Pada tahun 1980, ada lebih dari 70 media alternative, namun, pada 1994 jumlahnya tinggal dua saja. Salah satunya yang bertahan adalah West Highland Free Press di kepulauan Skype, adalah koran lokal yang lebih banyak berisi soft news yang kebanyakan adalah cerita investigasi politik.
Ketika media alternative mengalami kemunduran, muncul bentuk baru yang menggantikannya. Pada tahun 1994 ada 250 buletin tentang sepakbola. Andrew Hobbs, berpendapat bahwa jenis tersebut mempunyai banyak persamaan dengan media alternative ada 1970-an. Jenis terbitan ini muncul secara spontan untuk mengisi celah yang tidak diisi media yang ada, mereka dikerjakan untuk kecintaan bukan untuk uang, dan mereka adalah bagian dari sebuah budaya.
Pers Alternatif di Indonesia
Institut Studi Arus Informasi (ISAI) memperkirakan sekitar 3 ribuan terbitan di Indonesia masuk ke dalam kategori pers alternative. Kriteria yang diberikan pada pers ini adalah:
-pers yang tidak masuk dalam jaringan arus besar (mainstream) yang ada,
-memuat info alternative, yang seringkali tidak diakomodir oleh pers yang mapan,
-mempunyai tingkat kemandirian yang relative tinggi, ditandai dengan tidak dikontrolnya keberadaan mereka dengan surat ijin.
Dengan criterian seperti itu, pers alternative di Indonesia kebanyakan diterbitkan oleh pers mahasiswa dan organisasi non pemerintah.
Perkembangan pers alternatif di Indonesia memang masih didominasi oleh penyampaian berita-berita “perjuangan”, “pergerakan”, dan “demokrasi”. Karena itu, tidak mengherankan bila istilah alternative pada dunia penerbitan kita punya arti khusus. Alternatif menjadi sangat dekat dengan “ketidaksesuaian” terhadap situasi politik tertentu. Padahal, tidak selalu harus demikian bukan? Sebuah terbitan yang mengkhususkan diri pada penyampaian informasi di sekitar buku atau kehidupan anak jalanan, misalnya, tentunya dapat juga dikategorikan sebagai hasil dari kerja pers alternative. Mereka berusaha memunculkan informasi yang biasanya tidak terangkat ke permukaan.
JEJAL, media alternatifnya Anak-Anak Jalanan
-Media ini memuat persoalan dari anak-anak jalanan yang ditulis oleh mereka sendiri
– Diterbitkan oleh LPS Humana sejak Januari 1993
-Terbit sebulan sekali sebanyak 500 eksemplar
-Awalnya, komunitas jalanan girli (pinggir kali) di Yogyakarta sering menjadi bahan berita bagi media massa. Namun, para wartawan ternyata dianggap tidak selalu memuat keutuhan informasi yang disampaikan anak-anak girli. Pendek kata, anak-anak girli merasa tidak cukup puas dengan pemberitaan mereka di media massa, karena hal yang mereka anggap penting justru tidak ditulis oleh wartawan. Kondisi ini memicu mereka untuk membuat media sendiri. Dan lahirlah Jejal.
-Dari pemilihan rubric, pengisian tulisan dan ilustrasi hingga proses percetakan berikut pemasaran dilakukan oleh anak-anak girli sendiri. Pemimpin redaksi yang berada dibawah LPS Humana hanya mengatur lalu lintas naskah. Mulanya redaksi masih turun tangan untuk membenahi ejaan pada setiap tulisan. Namun kegiatan edit mengedit ini diprotes oleh anak-anak girli. Mereka beranggapan, jika masih ada koreksi seperti itu berarti akan ada pemikiran bahwa mereka “tidak pintar”. Akhirnya semua tulisan yang diserahkan ke meja redaksi dimasukkan sebagiamana adanya, tanpa ada pemotongan sedikitpun dari redaksi.
-Rubrik dalam Jejal antara lain; puisi jalanan, jeda jejal, tokoh jalanan, cocot jalanan, surat pembaca. Selain itu, ada pula kolom ngilo yang berisi hasil wawancara dengan pihak luar untuk memberikan tanggapan terhadap Jejal.
-Jejal memberikan kesempatan menulis kepada siapapun. Di edisi Juni/IV/96 dimuat tulisan dari Erwin Halomoan Siregar, mantan pemulung di Batam.
-Bila ingin berlangganan, tinggal sediakan Rp. 18.000,-/tahun, untuk 22 US$/tahun (untuk mereka yang tinggal di Eropa)
-Keterangan lebih lanjut dapat diperoleh di :
Jl. Komojoyo 28, Karang Asem, Catur Tunggal, Yogyakarta 55281. Telp. (0274) 588315, fax (0274) 881443.
Australia: Wendy Miller, 35 de Carle Street, Brunswick Vic. 3056, Australia.
London: Helen Veitch, 10 Academy Court, Kirkwall Place, E2 ONQ, London
“Membaca” Medianya Peminat Dunia Baca Membaca
-Diterbitkan pertama kali pada bulan Desember’ 95 oleh Penerbit Jentera.
-Media ini merupakan salah satu program dari Jentera untuk mengemangkan minat baca dan menyediakan informasi pustaka.
-Sasarannya dalah kaum intelektual, dari jalur akademis maupun non akademis.
-Ada info pengarang terlaris, buku terlaris, ada informasi koleksi buku yang dimiliki seseorang, ada resensi buku, ada nukilan, ada siapa membaca apa?, ada biografi, ada macam-macam hal di seputar perbukuan,s erta perilaku membaca atau tidak membaca.
-Sampai saat ini, Media Membaca baru terbit sebanyak dua edisi,d an selanjutnya akan terbit setiap bulan.
-Media ini dapat diperoleh dengan harga Rp. 3000,- di seluruh Indonesia.
-Keterangan lebih lanjut, dapat diperoleh di:
Jl. Pandega Wiratama I No. 9 Yogyakarta 55281. Telp. (0274) 518519, fax (0274)562612.
Pustaka:
1. Biagi, Shirley, Media Impact: an Introduction to Mass Media, Woodswoorth, Inc, 1988.
2. Bromley, Michael Media Studies: An Introduction to Journalism, Hooder & Stoughton 1995.
3. De Fleur, Dennis, Understanding Mass Communication, Houghton Mifflin Company, 1981.
4. Fedler, Fred, An Introduction to Mass Media, Harcourt Brace Jovanovich, Inc, 1978.
5. Hiebert, Mass Media : an Introduction to Modern Communication, David McKay Company.
6. Hill, David T., Yang Alternatif dan Yang Menyimpang, dalam Wartawan Independen Sebuah Pertanggungjawaban, Aji, 1995.
7. Hasil wawancara dengan Mas Andreas, staf ISAI
8. Hasil wawancara dengan A. Didid Adidananta, Pemimpin Umum Jejal
9. Hasil wawancara dengan Riana Puspasari, Tim Redaksi Membaca
Leave a Reply