1996 _akhir Juli_ Edisi 049_:
Mambuat Ti’ti (Tato) di sipatiti…….. (tato dalam budaya menatawai)
Di saat usia remaja pria dan wanita Mentawai biasanya menjalani upacara inisiasi (peralihan masa kanak-kanak ke remaja). Mereka mengadakan pesta besar dan tubuh si anak di tato oleh sipatiti, seorang ahli tato. Sipatiti dibayar dengan 1 ekor ayam.
Pria mentawai memiliki tato di sekujur tubuh mereka, termasuk tangan sampi jari, paha sampai lengan kaki serta wajah. Sedangkan kaum wanitanya di tato pada bahu, dada dan punggung tangan, juga garis vertical dari dagu sampai pusat. Proses pembuatan tato ini di lakukan secara bertahap.
Bagi masyarakat Mentawai, tato juga mengkomunikasikan posisi seseorang dalam masyarakatnya, baik jenis kelamin, usia, jabatan atau keahlian. Masalnya motif binatang melambangkan keahlian seseorang berburu, motif bintang di bagian bahu menunjuk bahwa orang tersebut adalah dukun (sikerei).
Khusus untuk Mentawai Sikabaluan, motif binatang adalah symbol binatang pujaan atau hasil perburuan.
(sumber : Tradisi Tato pada beberapa suku bangsa di Indonesia Anggraeni, Fak Sastra UGM, 1992-1993 & “Mentawai Shaman L keeper of the rain forest” bya Reimar Schefold, Ph,D)
Tak setiap hari saya berkesempatan mengunjungi sebuah studio tato. Karenanya, saat memasuki studio tato di jalan Imam Bonjol 115 Denpasar, rasa ingin tahupun menjadi terpuaskan. Dua buah ruangan berukuran kira-kira 2×2 m dan 5×2 m seakan memberi petunjuk betapa studio tato sesungguhnya adalah sebuah hybrid antara salon kecantikan dengan galeri seni. Ada cermin yang lebar dimana si pelanggan bisa melihat dirinya dipercantik, ada pula dinding yang dipenuhi oleh gambar-gambar unik yang tiap saat diabadikan ke tubuh anda. Adalah Nyoman Jiwic, pemuda Bali pemilik studio itu. Dengan karakter yang amat jauh berlawanan dengan yang biasa kita bayangkan mengenai orang-orang bertato. Jiwic seakan adalah cerminan betapa prasangka-prasangka buruk yang sering menimpa profesinya adalah tidak adil. Jiwic, dengan rambut gondrong dan tato di kepalanya, tampak begitu pemalu dan begitu “Bali”. Suaranya begitu rendah saat menjawab dan dengan tenang ia meninggalkan saya karena ada kegiatan adat di banjarnya. Banjar Tenten, saja sebuah banjar tua di Denpasar.
Lalu apa saja yang telah diceritakan oleh pemuda Bali yang membuka studionya semenjak dua tahun yang lalu?
Mungkin yang paling penting adalah mengenai betapa belum mandirinya kita dalam bisnis tato ini. Jarum-jarumnya semua dari Amerika demikian pula pewarnanya, demikian pula motifnya. Meski Jiwic sendiri trampil menciptakan motif-motif Bali, namun para pelanggan sendiri tampaknya lebih menikmati kekayaan motif dari luar.
Hal kedua yang paling sering ditanyakan adalah mengenai rasa sakit. Dengan polos Jiwic mengatakan bahwa kalau memang sudah suka tentunya rasa sakit bukanlah masalah. Meski ia kemudian mengingatkan bahwa sebaiknya kondisi tubuh dalam keadaan fit kalau mau ditato, kalau tidak ingin menanggung resiko jatuh pingsan, sesuatu yang sudah sering dilihat Jiwic. Para pentato sendiri sudah memperhitungkan daya tahan sakit tubuh manusia yang mampu selama 2-3 jam, sehingga untuk tato sepenuh punggung bisa menghabisakan waktu selama 1 bulan.
Jiwic bisa disebut sudah mampu hidup dari tato. Patokan biaya dari Rp. 10.000,- (tato kecil) hingga Rp. 50.000,- (hanya untuk sketsa punggung full) tampaknya tidak menyurutkan minat anak-anak muda untuk merajah tubuh mereka.
Tentang intaian AIDS di ujung jarum-jarum tato, Jiwic menanggulanginya dengan selalu menggantinya tiap kali ada pelanggan baru bahkan penyuluhan-penyuluhanpun diikutinya pula. Ingin tahu studio tato yang lain? Tato Studio Jl. Gunung Bukit Tunggal 38, Denpasar, Bali.
Leave a Reply