Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

1997_akhir Desember_Edisi 083_peduli:
Mainan Tradisional: Tergusur dan Kehilangan Lahan

Saya orang miskin/Saya orang miskin. Saya orang kaya/Saya orang kaya. Saya minta anak/Saya minta anak. Siapa namanya/Siapa namanya. Namanya….

Beginilah bait nyanyian anak-anak dalam permainan “Si kaya dan si miskin” yang mungkin belum tercatat oleh Direktorat Nilai Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Permainan semacam ini hampir di temui di setiap propinsi di Indonesia dengan nama dan cara yang sedikit berbeda. Permainan ini dimainkan oleh dua kelompok yang salah satu kelompoknya terdiridari dua orang. Kelompok dua orang tersebut pada awal permainan menyanyikan bait “saya orang kaya” sambil maju beberapa langkah berhadapan dengan kelompok lainnya. Kelompok di hadapannya menyahut dengan bait nyanyian “saya orang miskin”. Kemudian, ketika satu anak di antara anggota kelompoknya setelah orang kaya menyebut namnya. Terus, kelompok orang kaya meminta lagi anak orang miskin. Akhirnya satu per satu anak orang miskin habis. Tinggallah orang miskin berdua sebagai kelompok terakhir. Setelah itu, orang miskin tadi akan berbalik menjadi orang kaya, dan melakukan hal yang sama seperti awal permainan. Begitulah seterunya.

Di balik permainan di atas, kita masih dapat merasakan suatu ajaran dengan cara yang sangat sederhana, dimana orang miskin memberikan perhatiannya dengan cara memberikan anak kepada orang kaya. Perhatian ini setidaknya menyiratkan pesan bahwa anak-anak harus juga dapat memperhatikan orang lain, untuk tidak menyebutkan sebagai suatu peniruan, mimesis, seperti mengadopsi anak pada orang dewasa. Dan secara tak sengaja, permainan semacam ini menumbuhkan sikap kolektif anak-anak dalam bersosialisasi.

Di kota-kota besar atau daerah-daerah padat penduduknya, permainan anak-anak seperti di atas barang kali semakin lama semakin menghilang. Hal ini tentu saja disebabkan oleh lahan bermain anak yang semakin sempit. Sekolah-sekolah tidak lagi punya halaman yang memadai karena dibangun vertical. Halaman di sekitar rumah dirampas untuk areal parkir, dan tidak tersedianya taman kota yang dapat menampung aktivitas dan eksistensi permainan anak tersebut. Padahal, permainan anak-anak semacam itu membutuhkan ruang yang memadai sesuai dengan pola kehidupan anak-anak yang menyukai tempat-tempat terbuka dan luas. Belum lagi arus teknologi yang begitu pesat. Permainan anak dengan sendirinya tergusur bersamaan dengan majunya teknologi mainan anak-anak yang serba digital. Marginalisasi permainan anak ini, masih diperparah lagi oleh tayangan televisi yang menyita waktu anak-anak hampir 22 sampai 26 jam per minggu.

Menurut catatan Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Debdikbud, permainan anak-anak D.K.I saja hanya tercatat 25 permainan. Itu pun tidak seluruhnya masih dimainkan anak-anak sisanya entah lenyap ke mana. Sekarang anak-anak semakin asing dengan kata Gobag Sodor, Petak Umpet, bentengan, Silem-sileman, Unjungan, Anjir, Begatrik. Dan puluhan permainan lainnya. Yang ada dalam benak mereka adalah Tamagochi, Tamiya, Sega, Nintendo, Atari dan sederet jenis video game lainnya. Pahlawan-pahlawan mereka pun kini berubah, dari Ed Boon dan John Tobias dalam “Moertal Kombat”, Lara Croft dalam “Tomb Rider” sampai Zangief dan Vega dalam “Single Fighter II”, Lalu Berapa harganya?

Saya orang miskin/saya orang miskin. Saya orang kaya/saya orang kaya…

GACOAN
Jika Anda pernah kecil, pasti Anda mengenal gaco. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “gaco” berarti sesuatu yang diandalkan dalam suatu permainan. Bisa berupa benda yang dimainkan maupun batu atau pecahan genteng yang dipakai sebagai pelempar. Anak-anak Jakarta dan Sunda menyebutnya jago, di Jawa dikenal dengan cok atau gacok, dan di Sumatera Tengah di sebut ucak. Bagi anak-anak, gaco ini adalah benda pilihan yang memberikan keyakinan menang atau kalahnya suatu permainan. Tidak jarang gaco dianggap pembawa keberuntungan, kalau tidak sebaliknya. Gaco juga kadang diidentikan sebagai “benda keramat” yang ditiup-tiup dan dibacakan doa. Gaco, terdapat pada permainan kelereng, gambaran, lempar kaleng dan begatrik dan lain-lain. Pada permainan, Jogrok [Jakarta], diklik [Jawa], jedodog [Sunda] atau Cak Ingking [Sumatera Tengah], kulit pisang dianggap gaco yang paling ampuh.

HOMPIMPAH
Hompimpah! Begitu yang sering kita lakukan ketika kanak-kanak dulu untuk memulai suatu permainan. Dengan memberikan satu tangan ke depan dan memindahkannya ke tangan teman lain. Lalu berteriak serempak, sebenarnya semangat bertanding telah di mulai di sini. Kadang, dalam hompimpa itu terselip nyanyian-nyanyian pendek yang menyiratkan kegembiraan anak-anak serta kekompakan kolektif. Metode hompimpa hampir berlaku di banyak daerah di Indonesia. Tetapi cara-cara dan aturan siapa yang menang dan kalah dalam hompimpah juga bervariasi di lain-lain daerah. Ada yang memakai cara dengan “warna minoritas”. Artinya, yang menang adalah “warna” yang paling sedikit atau seorang diantara warna lain yang lebih banyak. Identifikasi ini dilakukan setelah semuanya serempak memperlihatkan warna tanganny. Warna hitam biasanya untuk menyebutkan punggung tangan dan putih untuk telapak tangan. Cara lain adalah dengan menyanyikan lagu hompimpa atau nyanyian lain yang berhubungan dengan apa yang dimainkan. Mulanya dilakukan oleh seorang yang dianggap pemimpin dalam hompimpah. Dengan tangan satunya ia membimbing tangannya secara bergiliran menyentuh ataupun menunjuk tangan anak-anak lain. Pada cara ini pemenangnya ditentukan pada saat lagu habis. Dan pada saat sentuhan tangannya yang terakhir itulah menunjukkan siapa pemenangnya bersamaan dengan habisnya lagu yang dinyanyikan. Cara ini memang paling tidak efisien dan lamban. Tetapi banyak disukai oleh anak-anak puteri yang lebih sabar dan menyukai nyanyian.  Cara ketiga adalah hompimpa yang dilakukan dengan menguji kecepatan berpikir. Biasanya, secara bersamaan anak-anak menyebutkan “Yang hitam menang…!” atau “Yang putih menang…!”. Setelah mereka melakukan apa yang diperintahkan atau disebutkan secara bersamaan tadi, biasanya diantara anak-anak ada yang melakukan kekeliruan. Ketika diperintahkan “Yang putih menang”, ada anak yang memberikan punggung tangannya atau warna hitam. Yang keliru inilah yang dianggap salah. Kecepatan menyebutkan perintah seperti diatas sangat mempengaruhi kecepatan berpikir untuk memilih hitam atau putih. Tidak jarang yang melakukan kekeliruan justru adalah anak yang memimpin hompimpah. Jika perintah ini tidak dilakukan secara bersamaan atau dipimpin seorang anak. Cara-cara di atas juga kadang tergantung  pada jenis permainannya. Ada yang memilih satu orang untuk menjadi pemenang, atau sebagian dari jumlah anak-anak, dan ada juga yang memilih satu orang yang kalah.[a!]

Sumber:
Permainan Rakyat daerah DKI Jakarta, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Debdikbud. ‘Aikon edisi 1997’Adzan, Agustus 1992’Balita, No. 50 Juli 1985

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *