2000_Desember_Edisi 119_bahas:
maaf atas maaf
Ade Tanesia
Pada abad 17, Kerajaan Perancis memiliki bentuk hukuman minta maaf yang disebut amende honorable dimana seorang harus menyatakan permintaan maaf di hadapan publik secara jujur. Hal ini pernah terjadi pada Damines, pembunuh raja yang dikenai hukum ini pada tanggal 2 Maret 1757. Saat itu, dirinya dibawa ke depan pintu utama gereja Paris untuk minta maaf di hadapan publik. Lalu Damiens diarak di atas kereta pengakuan menuju tempat tiang gantungan. Yah…ia minta maaf, namun tetap menjalankan tanggung jawab atas kesalahannya. Ia dihukum mati.
Tak terbayangkan bahwa peristiwa Damiens bisa terjadi di Indonesia, minta maaf plus bertanggung jawab atas kesalahannya. Jangankan menjalani hukuman, para penjahat politik dan ekonomi kelas kakap di negeri ini pun tak pernah menyatakan permintaan maaf. Padahal bukanlah sebuah kelemahan, Dosen Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, permintaan maaf dapat mengurangi luka bangsa. Namun yang jadi persoalan, konsekuensi dari permintaan maaf adalah keberanian untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya. Jika membandingkan pada budaya Jepang yang maaf bisa jadi hirarki, maka akhirnya kita bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya cara pendidikan keluarga di masyarakat kita, sehingga mengapa seseorang sungguh sulit mengakui kesalahannya dan mengucapkan kata maaf.
Coba kita mengingat-ingat masa kanak-kanak. Ketika lutut anda terluka akibat jatuh teratuk batu. Lalu orang tua menyuruh kita untuk memukul atau memarahi batu yang dianggap menjadi penyebab luka di lutut. Berkali-kali kita menangis karena jatuh, dan berkali-kali pula diajar untuk mengkambing hitamkan si pintu, si jendela, si meja, si batu, dan lain-lain. Nampaknya memang sederhana, tapi bisa jadi hal ini telah membentuk diri kita sebagai manuasi yang tak pernah diajar untuk mengakui kesalahan sendiri atau berkaca pada diri sendiri. Yang terjadi, seorang terbiasa untuk menyalahkan pihak lain, sehingga sulit sekali menerima kenyataan dirinya bersalah untuk kemudian minta maaf.
Kata maaf dalam perbincangan sehari-hari memang sering diucapkan , dan biasanya sekarang diganti kata “sorry”. Namun yang menarik adalah situasi yang mendukung munculnya kata maaf. Tidak jarang seseorang yang ingin membicarakan orang lain membukanya dahulu dengan kata maaf…”maaf yah, bukannya mau jelek-jelekin, tapi si X itu kok sering begini dan begitu….”. Akhirnya, maaf hanya menjadi tameng dari perbuatan jelek. Ini baru soal minta maaf, bagaimana jika ditambahi awalan me-maaf- dan akhiran kan? Luarbiasa, dibutuhkan sikap hati tertentu untuk memaafkan kesalahan orang lain yang menyangkut keikhlasan dan melupankannya. Akhirnya jika mau jujur, mungkin masih banyak cacat dalam soal maaf dan memaafkan. Bahkan kadang kita perlu minta maaf atas ucapan maaf itu sendiri.
Leave a Reply