Siang itu saya berkunjung ke Sangkring Art Space, sebuah tempat yang dibangun sepuluh tahun lalu di daerah Nitiprayan, Yogyakarta. Sangkring adalah nama seorang leluhur dari Putu Sutawijaya, pemilik tempat, seorang seniman asal Bali yang menetap di Yogyakarta sejak 1990. Di samping bangunan tinggi besar itu terdapat jalan masuk selebar satu setengah mobil, dengan tembok di kanan-kirinya – menyerupai lorong sepanjang 12 meter. Pada tembok-tembok setinggi enam meter itu terlihat beberapa karya yang ditempel atau digantung. Karya-karya di tembok-tembok berwarna putih kotor yang terlihat masif itu merupakan hasil karya dari seniman-seniman muda yang diundang oleh Sangkring untuk berkarya di ruang seni ini selama empat bulan – residensi. Beragam material seperti kayu dan besi terlihat menjadi medium yang banyak digunakan, selain cat-cat akrilik berwarna cerah.
Satu di antara beberapa karya yang ditampilkan adalah karya I Wayang Piki Suyersa berjudul Circle of Fire. Karya ini menggunakan material alumunium tipis, yang dibiasa digunakan sebagai kemasan minuman ringan bersoda dan beralkohol, yang digunting, dipotong, dibentuk, diwarnai serta dipilin menjadi benda-benda berterbangan menyerupai bola-bola api. Puluhan ‘bola api’ dengan berbagai ukuran yang mengingatkan saya pada serial kartun Dragon Ball itu, memiliki ‘lidah-lidah’ yang meruncing pada ujungnya. Mereka berwarna-warni, tersebar, berterbangan seolah-olah menyerbu, mengarah pada sebuah lingkaran di tengah seperti cincin yang terbuat dari besi bundar bergerigi, berwarna merah tua, dengan lingkaran berlubang banyak dan berwarna keemasan di dalamnya. Lingkaran kedua di bagian luarnya, berukuran lebih besar namun tipis sehingga terlihat lebih ringan. Lingkaran yang terbuat dari besi pipih bergerigi berwarna coklat yang menyerupai karat ini, mengingatkan saya pada ‘batas suci’ yang sudah seharusnya dibiarkan ‘bersih’ dan tenang. Di antara lingkaran tengah dan kedua, terdapat lima ‘bola api’ yang berukuran lebih besar dari ‘bola-bola api’ lainnya. Kelima ‘bola api’ yang didominasi oleh warna merah ini ‘berhasil’ menerobos lingkaran kedua dan menyentuh tepi cincin bergerigi, namun menyisakan lubang kosong di tengah. Lidah-lidah api mereka pun lebih besar dari pada yang lain. Perhatian pada komposisi melingkar yang memusat pada lempeng cincin bergerigi tebal itu dipecah oleh ‘bola-bola api’ yang bertebaran bebas di sekelingnya.
Lempeng alumunium yang dipotong secara tidak berpola, dan dipilin pada beberapa ujungnya sedikit banyak berhasil menghadirkan gerak. Dengan memanfaatkan material lempeng metal tipis yang sedikit berkilau, sang seniman berhasil memunculkan tampilnya bayangan yang ditimbulkan oleh lekukan-lekukan lempeng ke berbagai arah, menguatkan efek ‘bergerak’ dan memberi kesan dinamis, membuat karya yang menempel di tembok itu menjadi ekspresif. Pengolahan material terlihat tidak berpola, nampaknya dipotong dengan alat yang sederhana, mungkin gunting, dilakukan secara cepat, tidak teratur apalagi berpola, untuk membentuk ‘bola-bola api’ tersebut. Beberapa ‘lidah api’ terlihat ramping di sini dan terlalu besar di sana, serta terdapat tinggalan ‘kesalahan’ potong pada beberapa sisi yang menguatkan pendapat, bahwa saya pun dapat membuat karya seperti itu.
Dari hasil yang ditampilkan, pewarnaan dengan bahan cat akrilik sepertinya digunakan pada karya ini. Sayangnya informasi mengenai medium yang digunakan pada karya tidak dituliskan secara lengkap – hanya ditulis ‘mixed media’ pada caption. Cat berbasis air ini membuat kilau lempeng-lempeng alumunium menjadi redup. Pada beberapa bagian, sapuan cat berwarna-warni itu mendekati gaya ornamental, walau terlihat maksud dari seniman adalah untuk menguatkan kesan bahwa lempengan-lempengan itu memiliki bentuk dan kedalaman – tiga dimensi. Sapuan cat warna-warni itu mengingatkan saya pada kapal otok-otok, mainan kegemaran saya di zaman dulu. Suryesa, sang seniman, nampaknya membiarkan sisi belakang dari lempeng-lempeng alumunium itu bebas dari cat, sehingga ketika permukaannya meliuk dan mengintip, maka akan terpantul kilauan cahaya.
Karya Suyersa terlihat relevan dengan kehidupan masa kini. Seperti begitu banyak enerji dan semangat yang menggelora di dunia ini yang berusaha merangsek masuk ke sebuah inti yang telah ditentukan dan disepakati bersama sebelumnya. Jumlah manusia yang selalu bertambah, seperti tidak jemu menerobos batas-batas demi mencapai ruang hampa yang belum tentu dapat ia pahami. Secara keseluruhan, pendekatan pameran luar ruang di jalan masuk ke area di bagian belakang Sangkring Art Space itu menggunakan pendekatan estetika. Karya-karya pada pameran ini tidak bercerita mengenai apa yang melatarbelakangi karya. Pengunjung yang ‘kebetulan’ lewat, cukup menikmati apa yang terlihat dari karya-karya yang digantung atau ditempelkan pada tembok-tembok masif itu. Hal ini mengingatkan saya pada pernyataan Hans Jorg Furst yang dikutip Mikke Susanto dalam bukunya Menimbang Ruang Menata Rupa, bahwa “pameran seni tidak bermaksud untuk menyediakan informasi tentang latar belakang budaya objek, tetapi merepresentasikan kualitas estetik dari objek itu sendiri.”
Circle of Fire karya I Wayang Piki Suyersa berhasil menghentikan langkah saya dari depan ke area belakang Sangkring Art Space. Walau sebentar, karya ini telah ‘mengganggu’ benak saya dengan kesederhanaannya dalam komposisi dan ekspresi naif yang dilontarkan oleh sapuan cat pada lempeng-lempeng alumunium tipis itu.
Leave a Reply