1996_APRIL_Edisi 042_Profil :
LESEHAN IBU TRIANA
Kalau suasana malioboro berhasil dihadirkan di riuh rendahnya kehidupan Jakarta, itu adalah hasil kerja ibu triana dan suaminya. Slamet purnomo pasangan ini mencoba mewujudkan keinginan banyak orang merindukan suasana yogya tanpa harus jauh-jauh pergi ke yogya. Ide tersebut dicetuskan oleh sang suami pada tahun 1986.
Pada mulanya tempat yang dipilih adalah di kantor BKPN baru pada tahun 1990 usaha pengganjal perut ini dipindahkan ke jl.melawai raya. Kepindahan tersebut bukan tanpa alasan, sepanjang melawai dinilai sebagai tempat yang strategis dan trotoar di muka gelsel adalah tempat yang paling terang sehingga dapat terlihat dari sudut manapun, pilihan tempat wanita kelahiran Jakarta dari pasangan kelahiran Yogya nyatanya tidak mengecewakan, semenjak kepindahannya, pelanggan terus bertambah.
Pembeli yang datang ke lesehan dengan delapan meja ini cukup beragam. Mulai dari pelajar, seniman, pekerja, sampai Menteri seperti Pak Moerdiono, sering terlihat menyantap gudeg yang menjadi menu andalan resto emper toko ini. Bahkan, aktor Alex Komang bisa disebut hampir setiap malam dapat dijumpai di sini.
Resep laris Ibu Triana adalah masakan lezat dengan harga terjangkau. Karena itu, sekalipun sudah dibantu enam orang pegawai, ibu dari tiga orang anak ini selalu kewalahan melayani pembelinya, yang kadang harus makan di mobil karena kehabisan meja. Dengan modal pertama sebesar Rp. 750.000,- penghasilan kotor yang diperolehnya dari hasil lesehannya per hari kini mencapai Rp. 300.000,-
Meskipun berjualan di tepi jalan dengan pembeli yang selalu ramai. Ibu Triana belum pernah mengeluh karena alasan keamanan atau penggusuran. Mungkin karena ia selalu menjaga kebersihan tempat berjualannya. Justru pihak Gelael malah diuntungkan karena lesehan buka dari jam 20:00 sampai denagn 03:00 dini hari, kita malah menjaga keamanan Gelael tuturnya.
Usaha Ibu Triana yang tahun ini berusia 38 tahun sudah bisa disebut maju, tetap saja ia memiliki cita-cita untuk membuka lesehan di plaza atau pusat-pusat pertokoan yang sekarang menjamur. Namun wanita ini mengakui bahwa harapannya tersebut masih sangat jauh di depan. Seperti problem pengusaha kecil pada umumnya. Ia tidak memiliki modal yang cukup untuk memboyong sebuah gaya bersantap tradisional ke pertokoan yang gegap dengan hal-hal impor.
Leave a Reply