2001_Oktober_Edisi 129_Lintas:
Lebih dari sekedar sampah
Tidak banyak orang yang mau bergelut degan sampah. Apalagi menjadikannya sebagai sandaran hidup. Namun tidak demikian halnya dengan Selamet Hadi. Bapak berputra tujuh ini menjadikan sampah sebagai tumpuan akhir perjalanan hidupnya setelah gagal di berbagai usaha.
Tahun 1969, Slamet Hadi yang waktu itu bekerja sebagai buruh bangunan menjadi pengangguran. Tidak ingin berdiam diri, akhirnya ia menerima ajakan seorang Hansip yang menawarinya menjadi pengumpul sampah dari pemulung. Sayang waktu itu tidak satu sen pun modal dimilikinya. Namun sang Hansip tahu keluhan Slamet. Berbekal bantuan dari Hansip yang baik hati itu, Slamet mulai membuka lapak kecil-kecilan.
“Tiga tahun pertama adalah masa-masa sulit.” Kata Slamet yang berasal dari kulon Progo, Yogyakarta ini mengenang masa lalunya. Namun setelah itu, lambat laun usaha Slamet bangkit dengan sendirinya.
Sedikit demi sedikit keuntungan lapaknya ditabung. Sulit untuk membayangkan kalau saat ini buah keuletan itu memperlihatkan hasilnya. Seperti disebutkan Slamet, keberhasilannya berkat usahanya sendiri, tanpa bantuan sedikitpun dari pemerintah atau bank.
“Sulit untuk pinjam dengan bank. Mereka butuh jaminan dan juga sertifikat. Dan saya tidak punya,” kata salah satu pencetus Koperasi Peduli—yang merupakan gabungan puluhan lapak ini.
Kini Slamet nampaknya cukup makmur dengan usaha sampahnya. Di Jl. Hanglekir I, lapak Slamet yang berada persis di sebelah rumahnya, setiap hari mengangkut lebih dari 10 ton sampah kertas ke pabrik-pabrik. Sementara lapaknya yang lain, yang mengumpulkan sampah non kertas, juga memberi keuntungan yag tak kalah besar. Lapak yang berada di Pondok Pinang itu, berada di lahan 1400 meter persegi.
Secara materi—Slamet yang kini memiliki empat truk dan satu pick up ini—nampaknya tidak kekurangan. Usahanya lain berupa wartel dan rumah kontrakan juga memberikan keuntungan materi kepadanya. Sebagian anaknya pun dapat mengenyam pendidikan tinggi. Namun, bila mendapat untung yang lebih dari lapaknya, Slamet juga tidak pernah melupakan anak-anak buahnya yang berjumlah 15 orang itu. “Saya tidak mau makan sendiri. Rejeki kan harus dibagi-bagi,” tutur kakek empat cucu ini.
Slamet adalah teladan bagi kita dan sekaligus ironi bagi pengusaha-pengusaha yang dimanjakan fasilitas pemerintah.
Leave a Reply