1995_akhir Mei_Edisi 021_seni:
Layang-layang: Selayang Pandang
Ada sebuah permainan rakyat cukup tua dan bisa dibilang telah mendunia. Betul, layang-layang. Permainan yang satu ini seolah menembus ruang, waktu dan batas usia. Tak hanya dipegaruhi oleh anak-anak tapi juga orang dewasa. Malahan sekarang, permainan yang menerapkan teknologi penerbangan paling sederhana, digeluti pula oleh para professional.
Di Indonesia, layang-layang sudah dikeeal akrab oleh hampir semua suku. Permainan ini bukan hanya digandrungi oleh bocah-bocah tapi juga orang dewasa. Selepas panen tiba, biasanya langit pedesaan akan diwarnai dengan warna-warni layang-layang. Atau di perkotaan ketika musim layang-layang tiba yang tidak pasti masanya- orang tua selalu khawatir dengan keselamatan anak-anaknya. Bagaimana tidak di pekotaan lapangan tempat bermain layang-layang sudah langka, hingga anak-anak memilih tepi jalan raya sebagai ajang kebolehan bermain layang-layang.
Meskipun sampai saat ini belum ditemukan catatan tua yang berkisah tentang layang-layang, tapi yang pasti di beberapa tempat di Indonesia alat permainan ini dipercaya memiliki kekuatan magis. Layang-layang dianggap sebagai permainan keramat, masuk dalam bagian prosesi upacara. Di Bali layang-layang dipercaya sebagai symbol kesuburan, ketika senja tiba layang-layang dipakai untuk menangkap kelelawar. Begitulah, tradisi layang-layang merasuk ke seharian kehidupan masyarakat”.
Ada satu jenis layang-layang yang dijadikan pula sebagai “kanvas terbang. Layang-layang tradisional, namanya. Bentuk dasarnya mirip sebuah burung tanpa kepala. Lalu ada pula yang seperti ikan. Memang sederhana, tetapi di atas kertas layang-layang itu bisa digambari dengan berbagai hiasan. “Layang-layang ini menjadi media ekspresi saya,” begitu kata pembuat Usman salah satu pembuat layang-layang tradisional asal muntilan Jawa Tengah.
Usman asal Muntilan, Magelang, Jawa Tengah dari kelompok Baru Klinting itu, dalam menghias layang-layang sering menggunakan gambar-gambar wayang, atau bahkan lukisn alam. Bahkan dari tangan ini tercipta juga layang-layang tiga dimensi dengan kerangka rumit.
Kreatifitas serta keahlian kelompok baru Klinting setidaknya sudah menghasilkan beberapa penghargaan baik di tingkat lokal, nasional, atau iternasional. Di tingkat nasional antara lain, tahun 1992 di Parang Tritis, Yogyakarta layang-layang bergambar Gatotkaca meraih harapan nasional. Tahun 1993, ditempat yang sama, kuda Zebra tiga dimensi menjadi juara III. Tahun 1993 di Parang Tritis, naga tiga dimensi merebut juara II. Setahun kemudian, di Jepara, layang-layang berhias bulan bersinar (rembulan sumunar)meraih juara III. Sedangkan di tingkat internasional yang berlangsung di Lampung tahun 1993, naga pernah mendapat penghargaan sebagai The Most Unique Kite. Tahun 1994, di tempat yang sama, bulan bersinar meraih juara I Layang-layang Internasional. Selain itu, di Jakarta layang-layang bergambar candi Borobudur menjadi juara II.
Memperingati tahun emas kemerdekaan Indonesia, pencinta layang-layang Indonesia merangkai kegiatan bernama Festival Layang-layang Indonesia ‘95 (FLI’95). Lewat keadaan ini, masyarakat layang-layang Indonesia ingin memperkenalkan keunikan tradisi layang-layang kepada dunia. Tak kurang di arena ini, sekitar 200 pecinta layang-layang dari pelosok jagat, mempererat tali persaudaraan, menghias langit, mengukir prestasi.
FlI’95 digelar selama 14 hari (28 juni – 11 Juli) dengan acara padat memikat. Ada lomba layang-layang hias, trdisional, adu tarik, melukis layang-layang hingga rokoku. Ada pula atraksi stunt dan revolution, baik di dalam atau luar ruang. Ada penerbangan layang-layang di malam hari, bengkel kerja layang-layang pameran, bazaar dan sarasehan.
FLI’95 berlangsung di lima tempat berbeda yang semuanya memiliki keunikan budaya dan keindahan panorama tak terkira.
Leave a Reply