1997_awal November_Edisi 080_bahas:
LAPAR
Lalu saya dibawa ke jokja untung jam 5 ada kereta berangkat di perjalanan kami kelaparan sampai di Cirebon cari hoyen lalu kami ganti kereta…”(Jhony Boy)
“….waktu di Bandung saya sering makan hoyen di BIP (Bandung Indah Plaza). Sudah tiap hari makan hoyen rokoknyapun puntung kalok makannya pake telor…”(Eddy WSB)
LAPAR- mungkin inilah fakta akurat dari seseorang, apalagi jika disampaikan oleh anak-anak Tubuh tidak bisa diberi impian untuk menghadapi rasa laparnya, sehingga berbagai cara dilakukan. Demikian pula yang dialami oleh para tekyan istilah anak jalanan di Yogyakarta unutk menyebut dirinya mereka harus memutar otak untuk menghadapi laparnya, salah satu pemecahannya adalah MEMAKAN PANGANAN SISA. Tentu saja jalan keluar ini bukan kenyataan enak, perasaan malu, enggan harus ditelan demi tuntutan perut. Namun para tekyan harus meyakinkan dirinya bahwa hidupnya cukup untuk dijalani,
Dan untuk mengatasi persoalan “sakit” yang bukan fisik, para tekyan pun menciptakan istilahnya sendiri untuk membahasakan kegiatan ini. HOYEN! Inilah bahasa para tekyan, saat mereka mulai menanti atau mencari sisa makanan dari “orang punya”. Mereka biasanya mencari di sepanjang Malioboro, saat si “orang punya” sedang asyik makan, para tekyan sudah mulai menunggu di pinggir trotoar atau istilahnya “cim-cim-an”. Baru saja si “orang punya” memakai sepatu hendak berangkat pulang, para tekyan yang rata-rata masih bocah, langsung berebut mengabisi sisanya. Tidak jarang, mendapatkan nasi separuh piring harus dilalui degan baku hantam, misalya seorang anak jalanan di stasiun, sempat bocor kepalanya gara-gara rebutan hoyen dengan preman.
“Sekarang semakin sedikit tekyan yang makan hoyen di lesehan Malioboro. Di luar Yogya saya ndak tahu. Yang nyemir sepatu makin habis, kebanyakan anak-anak sekarang ngamen di jalan,” ungkap Jaidi, pria kelahiran Tuban , salah satu warga tekyan. Masih menurut Jaidi, hoyen sebenarnya tidak semata-mata makanan penahan lapar, tapi sudah menjadi makanan khas para tekyan. Bahkan ada yang mengatakan sebagai “upacara inisiasi” untuk menjadi bagian dari masyarakat tekyan. Karena walaupun para tekyan masih membeli makanan, mereka masih juga menyenangi hoyen. Sejak tahun 1985, istilah hoyen sudah dikenal Jaidi, dan ia pun ikut-ikutan teman makan hoyen di sepanjang Malioboro. Tempat lain yang cukup lapang untuk mengambil hoyen adalah lesehan Bang Ucok ‘kan makanannya daging semua, itu yang ditunggu anak-anak. Ada yang bilang haram, tapi kalau suka siapa yang mau melarang?” lanjut Jaidi. Makanan tetap makanan yang tetap bernilai bagi siapapun yang membutuhkan.
Sumber: hasil ngobrol dengan Jaidi (Girli); Seri buku JEJAL Malioboro, edisi Mei-Juni 1995/III.
Leave a Reply