1997_akhir April_Edisi 067_santap:
Kompor
Bentuk yang paling sederhana dari kompor adalah tungku api. Tungku dapat terbuat dari besi, tanah liat dan batu. Ada juga tungku yang mempunyai kaki. Tungku yang menggunakan tanah liat pada masyarakat Gayo di Aceh disebut kran meugaki. Cara membuatnya mula-mula dipilih tanah yang baik yaitu sedikit mengandung pasir. Setelah tanah dilumatkan, kemudian dibentuk melingkar yang pada bagian depannya dibuka sebagai tempat memasukkan kayu api. Pada bagian atas dibuat tiga buah mata yang dipergunakan sebagai tempat meletakkan kanet, blangon atau wadah masak lainnya. Selain tanah liat, tungku juga menggunkaan batu air yang bentuknya bulat panjang. Batu-batu tersebut ditanam di dalam dapur dengan formasi 3 biji untuk sebuah tungku tunggal. Dalam perkembangan selanjutya, orang mulai menggunakan besi. Dua batang besi pipa diletakkan sejajar dan kedua ujungnya ditopang dengan batu. Ada pula tungku besi yang berkaki sebanyak 3 buah dan diatasnya disolder besi yang telah dibentuk bundar. Tungku semacam ini apinya dapat tersebar akrena tidak mempunyai dinding. Biasanya disebuah rumah tangga terdapat 3 tunggu yang masing-masing berfungsi untuk menanak nasi, memasak sayur, menggoreng ikan dan sebagainya. Tungku ini di dapur diletakkan berjajar. Sampai saat ini di daerah pedesaan di jawa, masih sering digunakan wadah arang dari keramik untuk memasak.
Setelah itu kompor dengan minyak sebagai penyala apinya sering digunakan untuk memasak. Pada tahun 1840, untuk pertama kalinya gas digunakan untuk memasak. Sedang kompor listrik diperkenalkan pertama pada tahun 1914.
Di tahun 1830, para kaum kelas menengah Inggris biasanya menggunakan tungku api yang ditutup dengan cetakan besi. Model yang terbaru terdapat tatakan kaki untuk menjaga posisi ceret yang tengah dimasak.
Pada bulan Februari 1802, George Bodley mematenkan kompor dengan tutupan diatasnya. Model ini sangat populer di rumah tangga di Inggris Utara, karena fungsinya sangat efisien yaitu dapat mendidihkan, memanggang, menggoreng pada saat yang sama, seperti yang biasa dipakai pada jaman ini. Tetapi harga kompor ini sangat mahal dan sangat sulit untuk menjaga kebersihannya. Banyak orang miskin dari daerah utara tetap menggunakan kompor model kuno.
Eksperimen memasak dengan gas dilakukan sejak tahun 1824. Namun baru tahun di tahun, penggunaan gas ini mulai dipromosikan, lengkap dengan produk memasak yang efisien, pas dalam ukurannya dan bentuknya sangat cocok untuk diletakkan di rumah.
Pengrajin Kompor Cawang
Di lintasan daerah Dewi Sartika atau Cawang, kerap ditemui deretan kompor sumbu dari berbagai macam ukuran dijajakan. Ternyata usaha ini mulai dirintis sejak awal tahun 1970-an dan kini sudah ada 20 pengrajin kompor yang memasarkan produknya melalui 6 toko.
Bahan dasar kompor tradisional ini ialah lempengan besi yang diambil dari drum atau kaleng bekas oli yang dipipihkan. Ditambah besi setebal ½ inci. Setelah lempengan itu pipih maka dibuat diameter dudukan atas mulai 12 sampai 50 cm. Untuk tempat nyala api, dibuat lingkaran didalamnya sehingga menyerupai cincin atau kue donat. Dudukan bawah berikut kakinya dibuat dengan ukuran yang sama dan berfungsi sebagai tempat minyak. Setelah kedua dudukan itu selesai, maka keduanya disambung dengan besi ½ inci sepanjang 20 cm. Sedangkan tempat sumbunya dibuat rangkap 3; di bagian luar, dalam dan bagian yang menyatu dengan tempat sumbu itu sendiri. Setelah bentuk kompor selesai, lalu dibersihkan atau diamplas dan siap dicat.
Kompor buatan Sobirin (20) dan rekannya mempunyai ukuran bermacam-macam, yaitu ukuran 12, 16, 20, 32, 40, dan 50 cm. Untuk ukuran 50cm biasa dipesan oleh pengusaha Warteg..” karena walaupun digunakan 24 jam non-stop, kompor ini tidak akan mbleduk”, begitu janji Sobirin. Hal ini disebabkan kompor Caeang memiliki “kuncian” pada bagian dudukan bawah dan lubang minyaknya tidak tertutup agar tidak “mbleduk”. Lain halnya dengan kompor duduk lainnya, lubang minyakknya tertutup sehingga ketika hawa panas tidak keluar, terjadilah kondisi yang disebut “mbleduk”.
Sobirin menekuni usaha kompor ini sejak tahun 1991. Dengan tekun, ia belajar membuat kompor dari pak Isnaeni. Setelah 2 tahun belajar, barulah Sobirin berani membuat dan menerima pesanan kompor sendiri. Yah…dikatakan sendiri karena mulai dari pemipihan bahan sampai pengecatan dilakukan oleh satu tangan pengrajin. Menjelang tahun baru atau lebaran, ia cukup kewalahan menerima pesanan kompor ini. Menurutnya yang diperlukan dalam pembuatan kompor ini sama dengan pekerjaan lain, yaitu tenaga dan otak. Misalnya untuk membuat jalur sumbu yang 3 rangkap itu tidak asal-asalan, tetapi memakai perhitungan yang memeras otak. Bagi Sobirin, membuat kompor adalah pilihan hidupnya dan ia tidak berniat pindah ke profesi lain. Setiap harinya ia dan rekannya dapat menjual 4 sampai 5 buah kompor dengan harga mulai Rp. 12.500 sampai Rp. 45.000.
Sobirin mengakui, bahwa pekerjaannya akan lebih ringan apabila dibantu dengan alat atau mesin yang harganya relative mahal yaitu sekitar 500 ribu sampai 8 juta rupiah…wah!!. Sedang untuk modal awal, ia sudah menghabiskan sekitar 4 juta rupiah. Namun berapa banyak pengusaha Warteg yang sudah sukses gara-gara kompor buatan Mas Sobirin ??.
Selain daerah Cawang, kerajinan kompor tradisional ini dapar dijumpai di Perkampungan Industri Kecil (PIK) Cakung, Bambu Apus atau Jatibening.
Sumber:
- Sulaiman, nasrudin, 1993, Dapur dan Alat-alat Masak Tradisional Prop. D.I. Aceh, Depdikbud, Jakarta.
- Brears, Peter, Maggie Black, Gill Corbishley, Jane Renfrew and Jennifer Stead, 1993, A Taste Of History, British Museum Press, Lonodn.
- Hasil perbincangan dengan Mas Sobirin, pengrajin Kompor Cawang.
Leave a Reply