Hari itu, Hari Senin.
Aku menumpang kereta ‘langsam’ dari jurusan Rangkas Bitung – Kota. Di gerbong pertama, tepat di belakang lokomotif diesel. Di dalam, tidak ada bangku. Pada dinding, tidak ada jendela. Ada lima pintu. Empat pintu mengarah ke samping, yang satu lagi memperlihatkan bagian belakang lokomotif jingga beroperasi.
Para penumpang yang naik dari stasiun sebelumnya, kebanyakan duduk di lantai, disamping barang bawaan mereka, atau ada yang duduk di atasnya. Beberapa dari mereka mengepulkan asap rokok kretek.
Kereta mulai bergerak ke luar stasiun. kelima pintu tetap terbuka lebar. Penumpang yang berada di dekat pintu-pintu itu, berpegangan erat ke bagian gerbong apa saja yang menurut mereka cukup kuat untuk menahan diri mereka.
Hujan mulai turun di luar. Ke empat pintu samping mulai digeser, menutup lubang hawa. Oksigen mulai terasa menipis tak lama setelah itu. Kepulan asap rokok kretek masih saja tercium – malah makin kuat, karena tidak ada lagi empat lubang besar yang membiarkan mereka keluar.
Gelap gulita di dalam gerbong itu. Sebuah lilin milik seorang pedagang rokok dan beberapa lampu dari layar-layar telpon gengam sekali-kali menyala. Mesin kereta terus berderu membawa kami memasuki kota Jakarta.
Hujan sedikit reda. Pintu-pintu mulai dibuka lebih lebar. Udara yang lebih bersih menyelamatkan beberapa penumpang yang mulai terbatuk-batuk sambil kipas-kipas menghalau asap rokok penumpang disamping mereka.
Itu kejadian di Hari Senin pagi..
Senin malam yang sudah cukup larut, sebuah pesan singkat muncul di telpon genggamku. “Subhanallah, jam gini kami msh tggu kereta utk pulang ke rmh, krn kreta ada gangguan, smga pemimpin2 yg abaikan rakyatnya, diampuni dan dibimbing Allah swt! :-)”.
Aku tidak dapat melakukan apapun, kecuali menjawab: “Amin” sambil terus berdiri di peron Stasiun Tanah Abang, menunggu keretaku datang untuk membawaku pulang.
Leave a Reply