Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

1998_Juni_Edisi 091_bahas:
Kesenian Tradisional : Agen Informasi Yang Tetap Bergeliat.
Ade Tanesia

Hari ini pembahasan kesenian tradisional biasanya berkisar pada ketahanan hidup bentuk kesenian itu sendiri, dan yang dituduh menjadi biang keladi kemundurannya adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti televisi, film-film bisokop, video, CD, dll. Seperti yang dikatakan Setiawan Jody di harian Kedaulatan Rakyat, “nasib tradisional kini ibarat sirkus, disebabkan daya hidup seni tradisional di Indonesia tengah melorot. Kehidupan seni tradisi terkenal virus perubahan yang disebabkan kemajuan teknologi kemunikasi”. Namun yang perlu diperdebatkan, apakah kesenian tradisional tidak boleh berubah-apakah harus selalu patuh pada pakem-pakem yang diadiluhungkan ? Bukankah sebagai salah satu agen penyebaran informasi, kesenian tradisional seharusnya mengikuti perkembangan masyarakatnya sehingga bisa tetap bertahan.

Pada kenyataannya memang banyak seni tradisional Indonesia yang kurang diminati pendukungnya, seperti Makyong di Riau, Tan Ben Tan dari Sulawesi, Dalang Jemblung dari Banyumas. Namun ada beberapa yang terus merespon kebutuhna masyarakatnya sehingga tetap hidup, seperti Sahibul Hikayat, sebuah tradisi lisan ala Betawi yang tetap digemari oleh pendengarnya di radio; atau teater tradisional Jawa yang disebut ketoprak; dagelan mataram; wayang kulit. Seorang ahli antropologi, Barbara Hatley mengatakan “ketoprak tidak hilang karena perubahan jaman, bahkan terus berkembang”. Bahkan teknologi komunikasi yang dikatakan “virus” membantu kebertahanan ketoprak, mislnya dengan adanya penayangan di televisi, penyiaran serial ketoprak di radio oleh RRI dan radio swasta Redjo Buntung di Yogyakarta, Dan untuk kasus lain, Srimulat yang pernah tenggelam justru terangkat setelah masuk dalam program televisi Indosiar.

Keroprak !

Setelah seni tradisional disertakan dalam televisi atau radio, memang ada hak yang hilang dari bentuk komunikasi seni tersebut dengan publiknya. Misalnya pada kesenian ketoprak, di masa jayanya era ketoprak tobongan atau ketoprak yang berkeliling dari kampung ke kampung-antara penonton dan pemain ketoprak biasanya terjadi kontak langsung. Jika penonton menyukai sebuah adegan, mereka seringkali melemparkan sebungkus rokok ke panggung sebagai ekspresi kesukaannya. Disamping itu, pertunjukan ketoprak bisanya menjadi arena pertemuan, arena komunikasi antar warga dimana segala gosip berkembang. Dalam pertunjukan panggung inilah segala improvisasi berkembang subur, kepiawaian seniman diuji. Mereka tidak saja membawakan cerita legenda, tapi menganggakat persoalan yang sedang berkembang di masyarakat tersebut. Pada sisi inilah, kesenian ketoprak berperan sebagai fungsi katarsis-yang menghantarkan penonton untuk meletupkan persoalan mereka sehari-hari, misalnya di masyarakat petani, ketoprak seringkali merefleksikan kehidupan mereka yang terlilit oleh tengkulak.

Kalau kini di masa reformasi, agen penyebaran informasi dan perjuangan dilakukan “apakabar” lewat internet, maka di masa penjajahan belanda, ketoprak pun digunakan sebagai media perjuangan melawan kolonialisme dan dominasi kekuasaan kerajaan Jawa, seperti yang dilakukan Tjipto Mangunkusumo di akhir tahun 1919 Tjipto Mangunkusumo dengan pertunjukan lakon Kiageng Mangir. Melalui pertunjukan ketoprak ini, Tjipto Mangunkusumo hendak memberikan kesadaran bagi masyarakatnya untuk mengecam keberadaan kaum Keraton Jawa di dalam Volksraad buatan pemerintah hindia belanda. Di tahun 1930, yaitu dimasa maraknya aktivitas nasioanlis, ketoprak pun tidak ketinggalan membawakan semangat memerdekakan diri. Ketika Jepang menguasai Indonesia, sensor terhadap cerita ketoprak pun sangat ketat, para seniman ketoprak biasanya harus membuat naskah tertulis demi keperluan sensor. Bahkan seorang pemain ketoprak yang bernama Rukineng pernah ditangkap oleh serdadu Jepang, hanya karena ia mengenakan pakaian berwarna merah, putih, dan biru dalam pertunjukannya. Oleh penguasa Jepang, warna bajunya diartikan sebagai simbol pro-belanda, padahal ia sama sekali tidak bermaksud apa-apa. Pada masa pasca kemerdekaan Indonesia, ketoprak menjadi media propaganda politik untuk meghibur para tentara serta menguatkan pesan-pesan nasionalis. Di masa itu pula didirikan lembaga ketoprak yang berafliasi dengan partai tertentu. Misalnya Lembaga Ketoprak Nasional berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), Badan Koordinasi ketoprak (BAKOKSI) berafiliasi dengan partai komunikasi Indonesia-yang anggotanya termasuk dalam organisasi LEKRA dengan sebutan ketoprak Krido Mardi.

Setelah kejadian gerakan 30 September [G30S], berbagai kelompok kesenian rakyat seperti ludruk, ketoprak agak tenggelam dan baru mulai bermunculan lagi sekitar tahun 1968. Jika dulu ketoprak seringkali berafiliasi dengan macam-macam partai, maka di masa orde baru, ketoprak digunakan oleh pemerintah untuk menyampaikan pesan program pembangunan seperti KB, Transmigrasi. Sesuai dengan perubahan iklim kekuasaan, maka model informasi dalam ketoprak era orde lama dan orde baru memang terasa berbeda. Jika dulu pesan nasionalisme sangat santer, maka di masa orba yang menjadi prioritas adalah nilai pembangunan dan modernisasi. Juga pemerintah Orba berusaha mengurangi muatan krtitik sosial serta menghimbau agar gambaran tentang pemerintah dibuat sebaik mungkin. Untuk memperkuat kesan ini, maka di masa Orba ketoprak biasanya menjadi bagian dari istansi pemerintah dan tubuh militer, misalnya ketoprak Sapta Mandala berada dalam naungan tubuh Kodam IV Diponegoro. Di masa orba pula ketoprak mulai santer bersentuhan dengan teknologi komunikasi, misalnya di tahun 1974. Sapta Mandala telah menerima tawaran dari perusahaan rekaman di Semarang, selain itu semakin sering muncul di televisi.

Melihat perkembangan issu yang terjadi di masyarakat, dunia ketoprak tidak tinggal diam. Ketika di era 1990-an marak sikap kritis mahasiswa terhadapa penguasa, maka ketoprak pun mencoba menggali keberadannya kembali. Dan di tangan ketoprak Sapta Mandala, muncul sebuah fenomena Ketoprak Plesetan. Pesan-pesan yang disampaikan mencakup kritik sosial yang menohok perilaku penguasa, selain itu tampilannya pun dibuat lebih segar dengan humor yang cerdas. Secara estetis, ketoprak plesetan telah membalikkan pakem ketoprak konvensional. Di saat itulah ketoprak digemari oleh para mahasiswa setiap pertunjukannya di berbagai gedung selalu saja penuh, terbukti 1000 lembar tiket yang dijual seharga Rp. 1500,- habis terjual. Fenomena ketoprak plesetan merupakan salah satu contoh bagaimana sebuah kesenian tradisional mau menyesuaikan dirinya dengan jaman, dan terbukti tetap mampu menjadi agen informasi bagi masyarakatnya.

Kini disaat negeri ini sedang mengalami kemerosotan di segala bidang, agen informasi macam apa yang cukup efektif untuk masyarkat, harga kertas membumbung menyebabkan sulitanya produksi surat kabar, majalah dan media cetak lainnya, lain lagi-lagi penyebaran informasi menjadi terhambat !

Kemudian di saat resesi ini masih mempukah masyarakat pedesaan membeli televisi, tape recorder, radio? Dan kemana mereka bisa memperoleh hiburan sarat informasi, sarat perenungan. Mungkin ini saat kebangkitan kembali kesenian tradisional ialah minimnya hambatan bahasa, dan biasanya lebih murah meriah. Di masa yang sedang susah ini, banyak orang butuh kedekatan, butuh solidaritas, dan seni tradisional sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan masyarakat..yang artinya kesenian tradisional masih menjadi bentuk “teknologi” informasi tercanggih.

[sumber : Ketoprak Plesetan [1991-1992] : Reproduksi Tanda Dan Pesan [Kasus akon Suminten Ora Edan]. Oleh Ade Tanesia

 

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *