2001_Oktober_Edisi 129_Nuansa:
Kertas dan diskriminasi dalam seni rupa
Rohman Yuliawan/Nila/Joni Faizal
Apresiasi karya seni tak melulu dipengaruhi kualitas dan kekuatan ungkap seniman lewat karyanya, namun pemilihan media yang mewadahi ekspresinya pun juga diperhitungkan. Paling kentara adalah rendahnya apresiasi publik terhadap karya seni dengan medium kertas apabila dibandingkan dengan karya seni dengan medium lainnya. Padahal, setiap ekspresi seni, dalam bentuk maupun pada medium apapun selayaknya tidak bersifat diskriminatif dan mendapatkan apresiasi yang seimbang.
Sekedar catatan saja, pameran yang bertajuk Paper and Signs seniman asal Columbia, Manuel Hermandez yang digelar di Galeri Nasional bulan April lalu tidak banyak mendapat sambutan pengunjung alias sepi. Indikasi ini mungkin tidak berlaku bagi pameran di tempat yang sama pada bulan April lalu dengan judul “Seni Lithografi Modern” yang juga diadakan Galeri Nasional. Karya-karya kertas milik Barli, Krisna Murti, Sujono Kerton, Tisna Senjaya, dan lain-lain mendapat sambutan yang baik dari pengunjung. Tetapi harus diakui, dari sekian kali, pameran yang diadakan Galeri Nasional, pameran karya kertas dapat dibilang minim.
Lebih murah?
Kenapa karya dengan medium kertas tidak mendapat apresiasi sebagus karya dengan medium lain, semisal lukisan atau patung dari batu marmer?
“Mungkin karena daya tahan kertas yang rentan terhadap cuaca atau serangga, dan ditambah pula ukurannya yang kebanyakan lebih kecil daripada kain kanvas” kata Mella Jarsma, pemilik Galeri Cemeti, Yogyakarta. Demikian juga kualitas kertas, terutama buatan local, yang digunakan belum terlalu bagus sehingga mudah berubah warna setelah beberapa tahun. Selain faktor kualitas kertas, Mella menengarai apresiasi kalangan seniman sendiri terhadap media lkertas juga masih rendah.
Sementara menurut Eddy Susilo dari Galeri Nasional, kurangnya apresiasi masyarakat terhadap kertas lebih didorong oleh stigma yang terlanjur menempel di masyarakat, “Karya di luar lukis dan patung, yang memakai material alam seperti keramik, serat, kertas, kayu, logam dan gelas, dianggap materian non-art. Tau sekedar material scraft” ujar Eddy.
Alasan-alasan tersebut agaknya melatari adanya kecenderungan karya kertas kurang mendapat apresiasi yang layak. Sebagai indikatornya yang paling sederhana adalah harga jual karya kertas yang jauh lebih murah dibanding karya dengan medium lain. Bahkan menurut Yulianto, kuator Galeri Millenium Jakarta, harga karya kertas empat kali lipat lebih murah dibanding lukisan kanvas. “Harga murah ini kadang tidak menutup biaya produksi seniman, sehingga tidak banyak seniman yang concern,” ujar Yulianto.
Terlepas dari karakter pasar seni rupa yang kurang apresiatif pada karya kertas, Galeri Cemeti kerap menggelar pameran seni rupa dengan medium kertas, baik dalam bentuk drawing, etsa, cetak saring ataupun cukil kayu. “Karya di atas medium kertas lebih spontan dan menarik,” nilai Mella, sambil menambah nama-nama seniman seperti Agung Kurniawan, kelompok Apotik Komik, Agus Suwage dan Zamzuli Dwi Imron sebagai seniman yang terhitung sering menghasilkan karya-karya kertas yang menarik dan berbobot. Karya beberapa seniman justru dinilai lebih ekspresif apabila dituangkan di atas kertas. “Mungkin karakter kertas yang dipadu tinta bolpoint, seperti karya-karya Sekartaji, atau alat pewarna lain memperkuat ekspresi dari seniman,” duga Mella, pengelola Galeri Embun.
Samuel Indratma, perupa dari Apotik Komik melihat rendahnya apresiasi public seni rupa terhadap karya kertas, boleh jadi memiliki kaitan dengan aktifitas pemanfaatan kerta yang demikian luas. Dari sekedar pembungkus makanan di kaki lima, material utama pembuatan buku, Koran dan aneka produk cetak bahkan sampai bahan busana. “Kertas demikian mudah didapat, demikian dekat di sekitar kita, sehingga muncul kesan murahan. Sementara kain kanvas misalnya, relative lebih mahal dan untuk memperolehnya tidak semudah kertas,” ulas Samuel.
Pendapat ini diperkuat oleh Mella Jarsma, “Saya baru melihat kesadaran seniman untuk mendokumentasikan karya awal atau sketsa, yang sebagian besar diatas kertas, tidak lebih dari lima belas tahun terakhir. Ini memperlihatkan penghargaan mereka yang rendah, terhadap karya sendiri sekalipun, hanya karena terbuat dari kertas.”
Pandapat lain menyebutkan, sebenarnya masalah harga tidak menjadi penghambat dalam perkembangan media kertas. Seperti karya Setiawan Sabana yang tidak kalah harganya dengan lukisan yang bermedia kanvas. “Tapi pertanyaannya, siapa apresian yang mau membeli kertas itu? Mengingat kolektor sekarang lebih senang menginvestasikan uangnya ke lukisan yang jauh lebih stabil dan bahkan bertambah papar Eddy.
Apakah hanya karena medium ini lebih murah, lebih mudah didapat dan relatif lebih rapuh? Maka nilai ekspresi seniman diatas kertas juga lebih murahan? Saya rasa kita semua telah tahu jawabannya.
Leave a Reply