1997_awal Agustus_Edisi 074_peduli:
Kekerasan terhadap perempuan
“ Aku piker suamiku punya hak untuk memukuliku kalau aku membantah dalam pertengkaran dengannya. Sekarang aku tahu, bahwa dia tidak punya hak untuk memukulku, ujar Diding, seorang perempuan berkebangsaan Philipina.”
Nampaknya, nasib perempuan dimana pun sama saja. Tidak di negara maju, tidak di negara berkembang, nasibnya tetap diabaikan. Ketidakadilan dan kekerasan jadi bagian dari nasib yang harus diterima oleh perempuan. Ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan nyatanya tidak mengenal tingkat pendidikan, kaya atau miskin, di tempat sunyi atau keramaian, di tempat kerja atau rumah, di kancah perang dan di ranjang, terbuka atau tertutup, fisik atau non fisik, dilakukan oleh orang yang tak dikenal atau orang-orang terdekat.
Apakah namanya nasib kalau seorang perempuan yng diperkosa malah menjadi sosok yang disalahkan hanya karena ia memakai rok di atas lutut? Mengapa kekerasan terhadap perempuan seolah-olah diterima sebagai kasus yang sudah demikian adanya dalam sejarah manusia?
Banyak sudah yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan segala macam perspektif, mulai dari bahasan paling ilmiah sampai yang populer. Banyak upaya dilakukan, mulai dari membaut deklarasi sampai membuat lembaga bantuan. Namun, jawabanya tetap sama…. Nasib perempuan belum juga menjadi lebih baik.
Ironisnya, nasib perempuan kadang tidak dipikirkan oleh perempuan sendiri. Tidak jarang perempuan rela “menyiksa diri” untuk memenuhi hasrat pria. Satu contoh dari kasus ini adalah, meraksasanya industry kosmetik yang menjanjikan kecantikan seketika bagi para perempuan. Demi kencantikan, perempuan kadang merelakan melakukan apa saja, mulai dari berpuasa sampai menelan beragam pil pengencang kulit. Banyak di antara mereka tidak berhasil menjadi “cantik”, malah harus menderita penyakit. Apakah ini pun sebuah bentuk kekerasan terhadap perempuan? Mungkin jawabannya adalah “ya”. Hanya saja, bentuk kekerasan yang satu ini belum diperjuangkan pemecahannya, sekalipun telah menelan korban banyak perempuan.
Sumber : Majalah Basis no. 07-08, Oktober 1996. Perempuan Dalam Wacana Perkosaan. ED. Eko. Prasetyo dan Suparman Marzuki. PKBI Yogyakarta, 1997. Kompas, 11/5/1995 dan 8/9/1995
Leave a Reply