Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

Kartu Tanda Penduduk

Written in

by

2000_Mei_Edisi 112_peduli:
Kartu Tanda Penduduk
Ade Tanesia

Seorang teman dari Jerman pernah bertanya ”apakah KTP di Indonesia berfungsi sebagai nomor penduduk atau bentuk teror?” Pasalnya, teman Jepang ini sangat bingung saat melihat KTP seorang dibubuhi ET (eks Tapol). Berarti seumur hidupnya, cap tersebut sengaja dilekatkan dan bukanlah ini sebuah bentuk diskriminasi berkepanjangan. KTP juga menjadi bagian hidup hingga seseorang bisa sedemikian panik dan ketakutannya saat lupa membawa KTP. Nah…bukanlah ini sudah merupakan bentuk teror kecil-kecilan?
Awalnya……
Pada jaman belanda, registrasi penduduk dilakukan oleh pemong desa. Sampai pertengahan 1930-an, pendataan penduduk ini dilakukan oleh carik (juru tulis) desa. Pemerintah belanda juga memperkenalkan triplikat (kartu) bukti pencatatan kejadian penting, yang pertama kali dipakai di Jawa Tengah tahun 1932.
Di masa itu, penyelenggaraan pendaftaran penduduk diatur dalam Volkstelling Ordonantie 1930, yang dianulir masa berlakunya oleh UU no.6/1960 tentang sensus. Setelah itu pendaftaran penduduk diatur menurut peraturan Mendagri no.8/1977 berdasarkan Keppres no.52/1977.
Membius Warga
Indonesia memang sebuah negeri luas yang membutuhkan sebuah efektifitas penghitungan penduduk. Dan adanya Kartu tanda Penduduk menjadi sebuah pilihan baik. Namun yang kemudian kerap dipertanyakan adalah identitas keterangan yang harus diisi setiap warga di sebuah KTP . Bayangkan, seorang haruslah mengisi jenis agama, status; kawin/tidak kawin, jenis pekerjaan dengan pilihan yang sangat terbatas (swasta/pegawai negeri/petani/buruh). Baiklah,kalau terdapat jenis pilihan agama, ternyata ada agama yang tidak diakui keberadaannya. Misalnya seorang beragama Kong Hu CU akhirnya mengisi agama Budha, karena tidak termasuk dalam daftar. Midori Hinoti, seniman Jepang yang tinggal di Bali mengatakan bahwa dirinya agak heran melihat perlunya isian agama di KTP. Hal semacam ini tidak ada di Jepang, karena agama dianggap masalah pribadi dan bukan urusan negara.
Adanya KTP melalui tangan-tangan birokrasi hingga di tingkat RT/RW dirasakan sebagai bentuk control negara yang terlalu berlebihan. Akhirnya seperti jaring yang ingin mencengkeram kehidupan pribadi warganya. Situasi semacam ini hanya terjadi di negara-negara berbasis militer. Dan walaupun Indonesia tidak termasuk dalam kategori tersebut, paduan birokrasi dan system KTP yang dipelihara oleh rejim orde baru merupakan cara ampuh untuk mengontrol warga. Bukankah ini sebuah bentuk kekerasan negara yang menjadi bius agar tanpa disadari warga telah ditekan.
Selain itu, dijaman orma diberlakukan symbol ET (eks tapol) dan kode khusus pada warga etnis Tiong hoa. Hal ini merupakan tindak diskriminasi yang memang dirawat oleh rejim orba. Politik resialis gaya orba rupanya untuk menjaga potensi konflik dalam masyarakat yang sewaktu-waktu dapat dimunculkan untuk kepentingan pertahanan kekuasaan. Tentunya jaman memang sudah berubah, orde baru telah runtuh, namun sistemnya pun secara perlahan perlu dikikis melalui kesadaran hak rakyatnya.
Ladang Korupsi
Di sisi lain pembuatan KTP rupanya memberikan kesempatan bagi banyak orang untuk memeras warga. Dalam surat edaran Mendagri 18 Juni 1990, biaya pembuatan KTP WNI hanyalah berkisar antara Rp. 600,0- sampai Rp. 1000,- sedangkan WNA Rp. 1500,- sampai Rp. 5000,-. Namun pada kenyataannya, ada seorang karyawan yang untuk memperpanjang KTP harus mengeluarkan kocek hingga Rp. 75.000,-. Bahkan Ineke, warga etnis Tionghoa pernah diketok sampai Rp. 200.000,-. Belum lagi banyaknya biro jasa pembuatan KTP yang memasang harga tinggi, Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirdja di tahun 1996 sempat mengeluarkan instruksi untuk menertibkan biro jasa KTP yang memasang harga 2 juta rupiah.
KTP dan Kejahatan
Identitas yang begitu detil pada KTP juga bisa digunakan untuk prakterk-praktek kriminal. Sebagai contoh, di Jakarta Utara ada seorang pria yang tega membunuh sesamamnya setelah melihat jenis agama yang tertera di KTP. Sugeng, seorang tukang kayu dan pemijat pun pernah dipaksa untuk mebayar rekening pulsa handphone sebesar Rp. 11.123.020, padahal dirinya tidak pernah punya handphone. Selidik punya selidik, ternyata ada seseorang bernama GOS, kabarnya warga Thailand, yang meminjam KTP dan C1 Sugeng. Ia adalah pasien pijet Sugeng. Sementara itu, pihak Metrosel, Achiel membenarkan bahwa dalam KTP pembelian handphone itu tertera pekerjaan Sugeng sebagai buruh. Berarti KTP Sugeng telah disalah gunakan.

Akhirnya kartu tanda penduduk di negeri ini memang perlu dibenahi agar fungsinya kembali seperti semula, yaitu untuk kepentingan sensus penduduk. Bukan dijadikan alat unutk mempresi kehidupan rakyat dan mendiskriminasi siapapun.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *