2000_April_Edisi 111_jelajah:
Kampung Kenari
Jhoni Faizal
Siang itu meskipun matahari terik, di sekitar patung Mohammad Husni Thamrin puluhan anak-anak mengejar bolanya ke sana kemari larut dalam permainan. Tidak jarang lambungan bola mereka mengenai kepala patung Husni Thamrin yang gagah berdiri sambil mengapit bukunya. Semakin sore, taman yang disebut sebagai Museum oleh Pemerintah Daerah DKI itu semakin ramai oleh anak-anak. Halamannya yang luas ditambah beberapa pohon peneduh, menjadikan laman ini cukup ideal sebagai ruang terbuka publik, terutama bagi anak-anak.
“Nggak ade yang istimewa” kata Muhammad Sidik salah satu sesepuh kampong sekaligus ketua RW 01 Kampung Kenari menceritakan tentang kampungnya. “Biasa-biasa aje”, tambahnya. Namun dibalik hal yang dianggap cerita panjang yang menarik untuk dicermati. Taruhlah misalnya tentang bagaimana penyebutan terahadap M. Husni Thamrin oleh colonial hingga kematiannya. Jika mendengar dari orang-orang kampong akan ceritanya.
Seperti pemaparan Sidik, “Kampung Kenari dari jaman ke jaman adem-adem aje. Peristiwa PKI pecah. Kampung Kenari biasa aje”. Begitu pula di era Reformasi Kampung yang berada persis di belakang Kampus UI Salemba ini dimana kerap menjadi saksi demonstrasi massa yang memberi pengaruh dinamika politik di Tanah Air seperti tidak mau tahu suasana disekitarnya. “Padahal gedungnya sembunyi disini.” Kata Sidik setengah bercanda.
Itulah pula mengapa kampung Kenari tidak heboh-heboh amat ketika gedung museum yang ada di sekeliling rumah penduduk tersebut, akan diperindah bersama dengan stasiun Kenari yang kini sudah jadi warung. Tentu saja kata “indah” versi Pemda jaman Orde Baru berarti penggusuran “Ali itu cuma sementara lama-lama hilang sendiri.” Kata Muhammad yang menempati Stasiun Kenari sejak tahun 1961 itu tanpa khawatir.
Peninggalan sejarah
Konon Kampung Kenari tempo dulu adalah senuah gang yang banyak dihuni pohon kenari. Di situ pula Muhammad Husni Thamrin, yang bernama kecil Matsuri, memiliki beberapa rumah persewaan. Sebagai seorang putra Wedama yang kini masuk pada pergerakan melawan penjajah. Husni Thamrin menghalalkan rumah pertamanya yang terletak di depan stasiun sebagai gedung pertemuan pada waktu itu. Husni Thamrin sudah diangkat menjadi anggota Voolkrood atau Dewan Rakyat. Selain membentuk organisasi Kaum Betawi, pada bulan Desember 1992. Husni Thamrin juga menghimpun partai-partai dalam PPPKI Perhimpunan Pemufakatan Politik Kebanggaan Indonesia) yang merupakan gabungan dari PNI, PSI Budi Utomo dan orientasi Kaum Betawi sendiri Rumah bekas perseroannya inilah yang sekarang menjadi Museum Muhammad Husni Thamrin menjadi ajang pertemuan organisasi-organisasi tersebut. Di tempat ini pula lagu Indonesia Raya masuk pertama kali “dinyanyikan” oleh WR. Supratman dengan baiknya bersama kelompok Noer Hidayat, sebelum diperdengarkan dalam Kongres Pemuda di Gedung Santa yang bersejarah itu.
“Masyarakat menyebutnya sebagai Gedung PNI” kata M. Sidik. Gedung ini beberapa kali beralih fungsi sebagai tempat bongkar muat buah-buahan dari stsiun sebelum dipasok ke Pasar Kenari dan sebagai gedung bongkar muat kayu-kayu sebelum rel kereta api diputuskan ke Kenari pada 1 Mei 1962.
Stasiun di depan Museum itu kini masih tidak tampak lagi. Namun jika melongok ke dalam rumah yang kini didiami oleh empat keluarga yakni keluarga Muhammad, Ali, Husein dan Ali yang semuanya mantan pegawai PJKN masih tersisa tembok desain stasiun yang dibangun pada tahun 1882. Pintu dan ukiran logam ventilasi pun masih tampak baik dan belum pernah dirubah.
Selain Gedung Muhammad husni Thamrin satu lagi kawasan yang dimiliki Kampung Kenari adalah gedung Ordois yang kini menjadi Sekolah Rumah Kita. Gedung yang dibangun pada 1947 ini masih berupa bangunan lama yang belum pernah dipudar. Dalamnya gedung ini sebagai sosial center menjadi sekolah di bawah yayasan Rumah Kita kata Keyo Sukarya Kepala SD Rumah Kita.
Selain tempat-tempat yang bersejarah, di Kampung Kenari juga masih ada percetakan yang hingga kini masih menggunakan mesin cetak tua merk Heidelberg. Di tempat percetakan itu, rata-rata pekerjanya sudah kakek-kakek. “Orang sekarang jarang ada yang bisa mengoperasikan mesin ini,” kata Hodibah generasi ke 3 pemilik Percetakan Setiap yang berada di RW 01. Utara menurun Tetep Kampung.
Tetep Kampung
Kampung Kenari yang berpenduduk 13.385 jiwa secara fisik memang sudah banyak berubah, namun budaya khas kampung masih sangat kental. Semangat kebersamaan tetap hidup, tanpa membedakan pendatang maupun penduduk asli. Kampung yang pernah menjadi kost Bang Syahrir muda dan melahirkan Fahmi Idris ini Mantan Menaker ini, tetap memiliki tradisi yang kuat sebagai Kampung Betawi. “Bedanye remaja sekarang banyak yang nggak bisa ngaji.Sedangkan generasi gue, masih ada yang bisa baca-tulis Al-Qur’an tapi nggak sekolah, kata Obon 38 tahun, mantan Ketua Karang Taruna Kampung Kenari.
Sejak Jakarta kian berkembang Patung Husni Thamrin rencananya akan dihancurin satu lagi di Jalan Husni Thamrin. Tapi orang kampung Kenari tetap tidak peduli. Dan anak-anak itu masih betah dengan bolanya bermain dengan “Husni Thamrin”. Ape lu?
Leave a Reply