Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

Jawilan Hari Raya Seni

Written in

by

Acara pembukaan perhelatan ArtJog 10 itu terkesan biasa saja. Sebuah performance art yang diselenggarakan sehabis magrib dengan latarbelakang gedung putih Museum Nasional Yogyakarta. Pementasan itu diiringi gesekan biola, dan petikan harpa. Karya instalasi berjudul Floating Eyes karya Wedhar Riyadi, berupa tumpukan bola-bola mata berukuran besar dan berwarna warni, berdiri tinggi di beberapa kolam di sekitar pementasan. Changing Perspective yang menjadi tema ArtJog 10 itu terasa hampa. Changing Perspektif? Perspektif apakah yang berubah? Tema ini tidak tersampaikan dengan jelas oleh pementasan dalam acara pembukaan, maupun lewat karya-karya yang dihadirkan di malam itu. Mungkin kejelasan itu perlu menunggu sampai saya dapat membaca tulisan kurator pada dinding di depan pintu. Yang membuat perhelatan ArtJog ini menarik adalah bahwa saya dapat merasakan kembali mengembangnya semangat egalitarian di sebuah kota feodal itu – khususnya di dunia seni, rasa yang sama dapat saya rasakan saat penyelenggaraan Biennale Jogja ke-10 di 2009. Lebih dari 70 pameran dan pagelaran seni diadakan pada kurun waktu yang lebih kurang sama dengan penyelenggaraan ArtJog10. Tidak hanya galeri dan cafe, tembok-tembok kota pun ikut dijadikan medium berekspresi.

Dari obrolan singkat malam itu dengan Enin Supriyanto, kurator senirupa, hanya kota Yogyakarta lah yang mampu menyelenggarakan perhelatan semacam ArtJog. Secara format, ArtJog berada di antara pasar seni dan Biennale, (kegiatan seni dua tahunan). Yogyakarta menurutnya adalah kota yang memungkinkan untuk diselenggarakannya kegiatan seperti ini, karena adanya kebiasaan komunal seni khas Yogyakarta yaitu jawilan. Teknik jawilan, colekan, atau towelan, merupakan kebiasaan masyarakat Yogya untuk bergotong-royong membangun dan/atau melakukan sesuatu untuk kepentingan bersama. Jawilan sulit untuk dilakukandi antara warga di kota lain di dunia yang tidak memiliki budaya egaliter yang saling membantu, saling mendukung. Jawilan merupakan gaya informal khas warga Yogyakarta dalam mengajak masyarakat untuk melakukan sesuatu bersama-sama. Di kalangan seni Yogya, jawilan sering dilakukan dengan menyelipkannya di antara humor – sebagai ajakan untuk bergotong-royong.

Adalah sebuah paradoks di mana Yogyakarta yang merupakan suatu wilayah di Indonesia dengan budaya feodal yang kental, secara bersamaan dapat memiliki semangat egalitarian yang kuat. Menurut Enin, asal mula paradoks ini dapat dirunut ke masa beberapa tahun setelah republik ini berdiri. Di awal tahun 1946, Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia dinilai tidak aman. Terdapat banyak razia, penjarahan, agresi oleh tentara Belanda di perbatasan Jakarta. Mengetahui hal itu Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam mengirimkan surat (atau ‘menjawil’) kepada Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno, menawarkan solusi untuk memindahkan pusat pemerintahan republik ke Yogyakarta untuk sementara waktu. Dua pimpinan kerajaan yang memiliki tata pemerintahan dan kapital yang lebih baik dari pada di Jakarta pada saat itu, membuka diri, ‘menurunkan gengsi’, demi keselamatan republik, demi keselamatan rakyat Indonesia. Hal ini memberi dampak besar bagi rakyat Yogyakarta. Di waktu itu pula Hendra Gunawan, Afandi, S. Sudjojono, dan banyak perupa lain yang sebelumnya tinggal di Jakarta, ikut pindah ke Yogyakarta. Selain banyak membuat poster-poster penyemangat dan lukisan bertema perjuangan, para seniman ini mendirikan sanggar-sanggar seni untuk dapat berbagi banyak ilmu seni di antara mereka. Pada saat ibukota sudah kembali ke Jakarta, Soekarno tidak lupa akan kontribusi para seniman di Yogyakarta dan meminta para seniman untuk mendirikan sekolah, tidak hanya sanggar. Maka muncullah sekolah seni pertama di Indonesia, yaitu Akademi Seni Rupa Indonesia.

Heri Pemad, yang sepuluh tahun lalu adalah kurir pengirim undangan pameran, kini dikenal sebagai penggagas serta pemimpin penyelenggaraan ArtJog. Ia juga melakukan banyak jawilan untuk memulai perhelatan internasional itu. Sebagai contoh, di tahun lalu, tempat penyelenggaraan yang telah menjadi langganan lokasi penyelenggaraan ArtJog selama delapan tahun, dinyatakan tertutup untuk penyelenggaraan ArtJog 9. Untuk mengatasi masalah itu, Pemad ‘menjawil’ temannya yang pada waktu itu sudah memiliki izin untuk berpameran di Museum Nasional Yogyakarta. Pemad meminta agar temannya itu membolehkan ArtJog 9 untuk menggantikan pamerannya. Jawilan Pemad memang ‘bernuansa agak lain’, yaitu dengan sedikit ‘menekan’, untuk menyerahkan hak berpameran teman demi perhelatan ArtJog. ‘Jawilan’ itu pun berhasil. Selanjutnya ArtJog mulai diadakan di Museum Nasional Yogyakarta, seperti halnya di mana ArtJog 10 digelar saat ini.

Teknik ‘jawilan’ pun dikembangkan dalam ArtJog 10. Pemad dan kawan-kawan penyelenggara ArtJog mendorong adanya Yogya Art Weeks (YAW). Menurut Pemad, YAW merupakan wujud kesadaran dirinya dalam melihat ArtJog yang tidak mungkin dapat berdiri sendiri, tanpa adanya dukungan dari banyak galeri yang membuka pintu-pintu mereka untuk juga menggelar pameran seni di tempat mereka masing-masing. Pemad ‘menjawil’ rekan-rekan di dunia seni untuk ikut memeriahkan kota Yogyakarta dengan berbagai bentuk seni, sehingga para pengunjung ArtJog tidak hanya melihat karya-karya dalam jumlah terbatas yang ada di Museum Nasional Yogyakarta, namun juga dapat melihat karya-karya yang baru dan segar dari para seniman yang ditampilkan di banyak galeri di Yogyakarta. Pada saat ArtJog 10 digelar, terdapat lebih dari 70 galeri yang juga menggelar berbagai perhelatan seni. Wisatawan lokal dan mancanegara pun banyak terlihat singgah keluar masuk dari galeri ke galeri.

Dengan hanya berjalan kaki ke Selatan, sekitar jalan Suryodiningratan dan jalan Tirtodipuran, saya dapat menikmati banyak titik lokasi yang ‘berkesenian’. Langgeng Art Foundation, sebuah galeri yang sedang menggelar pameran Amok Tanah Jawa karya seniman Mulyono dan pameran berjudul Labirin di ruang bawahnya, karya-karya ilustrasi berbingkai kayu di Kedai Kebun, kemudian ada tempat seperti Krack! Printmaking Studio and Gallery, Ark Gallery, Mess 56, dan juga banyak seni jalanan – mural – yang muncul secara ekspresif di tembok-tembok sepanjang jalan. Tak ketinggalan di sepanjang jalan desa di daerah Nitiprayan, terlihat ratusan bendera berwarna-warni digantung dengan tali di antara pepohonan. Visual sederhana yang menambah suasana desa menjadi meriah tanpa perlu hingar bingar – hanya terdengar kepakan kain tertiup angin.

Kurang lebih tiga kilometer ke arah Barat Daya Museum Nasional Yogyakarta, di daerah Nitiprayan, perhelatan dari hasil jawilan yang lebih merakyat dilakukan oleh Samuel Indratma, Putu Sutawijaya dan teman-temannya. Sangkring Art Space yang didirikan sepuluh tahun lalu itu menyelenggarakan Yogya Annual Art untuk kedua kalinya di 2017 ini. Tiga ruang pamernya, Sangkring Art Space, Sangkring Art Project, dan Bale Banjar, terisi berbagai karya seni dari beragam ‘genre’. Karya-karya seniman muda yang ditampilkan, tidak kalah menarik bila dibandingkan dengan karya-karya sedang dipamerkan di Artjog 10. Suasana di sini lebih santai, merakyat. Siapa pun dapat masuk ke ruang pamer, tanpa ada keharusan untuk menitipkan tas, untuk menikmati karya seni.

Jawilan telah kembali menjadi teknik yang ampuh di dalam budaya populer kota Yogyakarta untuk mengembangkan diri, khususnya dalam bidang seni. Saya teringat dengan penyelenggaraan Biennale Jogja X di 2009. Waktu itu perhelatan seni dua tahunan bergengsi itu terasa sedang mengembalikan ‘roh’nya menjadi kegiatan seni untuk dan bersama rakyat. Waktu itu, berbagai karya seni muncul di berbagai sudut kota Yogyakarta. Apakah itu senirupa, seni musik, performance art, dan lain-lain tidak lagi kentara kategorisasinya, masyarakat terlibat, berpatungan, dan bersama mengusung berbagai kegiatan dengan gembira. Sebuah perhelatan dengan semangat seni kerakyatan – kurang lebih seperti semangat yang didorong S Sudjojono dengan seni rupa kerakyatannya di 1946.

Kota Yogyakarta di Mei 2017 seperti sedang melaksanakan perayaan seni secara ‘los-stang’ – perayaan yang cenderung terlihat tidak ada yang mengkoordinir, namun seperti ada ‘jiwa’ yang membuat antara satu dan yang lain seperti terhubung – merayakan seni. Saya tidak melihat adanya cara lihat baru Changing Perspective, seperti yang menjadi tema perhelatan. Yang behasil saya lihat kembali adalah teknik jawilan yang telah berhasil menjadi medium produktif di Yogyakarta. Semoga teknik jawilan dapat semakin mendorong munculnya hari raya seni di masa mendatang. Sebuah hari raya seni untuk dan oleh rakyat yang berkesenian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *