2000_April_Edisi 111_bahas:
Jalan2 ke Taman Nasional Gunung Halimun
Ade Tanesia/Joni Faizal
Berjalan di bawah terik matahari
Sabtu pagi yang cerah, mewarnai awal perjalanan rombongan kru BSC-IPB yang berjumlah 13 orang menuju Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Tepat jam 05.00) bis yang kami tumpangi melaju meninggalkan Bogor. Sekitar 2,5 jam kemudian kami sampai di terminal Parung kuda, Sukabumi. Kami langsung memilih angkutan jurusan Parung Kuda-Cipeteuy. Sekitar jam 13.00 sampailah di Cipeteuy, desa terakhir sebelum memasuki kawasan TNGH. Setelah 2 jam berjalan kami sampai di gerbang masuk TNGH.
Kelelahan kami rasanya terhapus setelah menyaksikan sekelompok Owa Jawa (Hylobates moloch) bermigrasi, target kami adalah sampai di Cikaniki. Kanan kiri jalan ditutupi oleh vegetasi hutan yang cukup rapat, Nampak beberapa jenis paku-pakuan (Pteridophyta) namun pohon Rasamala (Altingia excels) terlihat lebih mendominasi. Menjelang Maghrib kami sampai di Cikaniki dan langsung istirahat di tenda.
Bertemu katak langka
Esok paginya sekitar pukul 08.00 setelah sarapan, ekspedisi dimulai dengan memasuki kawasan loop trail. Kondisi ekosistem di sini cukup terjaga. Seperti hutan hujan tropis umunya, pohon disini tinggi-tinggi dilengkapi dengan tumbuhan rotan dan kana. Di sepanjang jalan setapak banyak ditemukan sanintera berduri, sepintas mirip buah rambutan yang masih hijau. Sanintera ini adalah santapan favorit owa. Tak lama berjalan sampailah kami di Canopy trast. Dari puncak dan jembatan gantung, bisa diamati kondisi hutan secara jelas. Jika menggunakan binokuler, semua terlihat hijau, dibelah oleh sungai yang airnya sangat jernih dengan bebatuan menghiasi di dalamnya. Selain kondisi hutan, kami juga bisa mengamati beberapa satwa, terutama dari jenis burung, seperti Sepah Gunung (Pericrocotu miniature). Kepodang ungu gunung Srigunting, dan Owa sebagai satwa endemis TNGH. Setelah turun dari Canopy trast perjalanan dilanjutkan ke Gunung Kendeng. Pada ketinggian 970m, sekitar hn 3-4 kami menjumpai katak bertanduk, yang nama latinnya adalah Megophrys mosticoda, dia tergolong katak langka warna kulitnya coklat muda dengan sepasang tanduk di atas matanya, sepintas terlihat seperti sepotong katu kering, di buku disebutkan juga kalau katak ini beracun. Sekali lagi kami sangat beruntung bisa menjumpainya sebab konon dia sulit sekali dijumpai.
Teguran Si Raja Rimba
Setelah makan malam dengan indomie rebus yang nikmat acara dilanjutkan dengan evakuasi hasil kegiatan. Sedang seru-serunya bercerita tentang ketersesatan kami tadi siang tiba-tiba terdengat suara auman “si pemilik hutan, macan tutul (Panthera pardus). Walaupun tidak menampakkan diri secara langsung, auman itu cukup membuat kami kecut dan tegang. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti berapa jumlah populasi macan tutul di kawasan TNGH ini, tetapi diperkirakan sekitar 300-700 ekor. Dari keterangan bapak jagawana, daerah Wates dan Cikaniki termasuk wilayah jelajahnya, dan menurut beliau beberapa waktu lalu macan tutul pernah mampir ke kamp ini. Usai evaluasi kami pun berangkat tidur dengan sedikit kecemasan. Semoga si raja Rimba tidak berminat mengunjungi kami, apalagi tertarik pada kami.
Ke Gunung Botol
Waktu yang memang sengaja dibawa berbunyi sekitar jam 05.15 membuat kami terbangun. Setelah sarapan pagi, kami bergegas mendaki G. botol. Perjalanan dimulai pukul 07.40 diawali dengan memasuki kawasan loop traril, untung sekali saat itu tidak hujan sehingga jalan setapak tidak licin. Pukul 09.30 kami keluar dari kawasan loop trail dan dilanjutkan dengan menyusuri kebun teh. Pemandangan di sini biasa indahnya, membuat kami betah berlama-lama.
Sekitar setengah hari kami memasuki hutan di lereng G. Botol. Walaupun medannya terus menanjak namun semua kru masih bersemangat untuk sampai ke puncak. Pepohonan di sini batangnya diselumuti oleh lumut, menandakan wilayah ini termasuk sub montata. Pukul 15.00 WIB kami sampai di ketinggian 1675 m berarti puncak telah berhasil didaki. Perasaan haru, puas senang berbaur jadi satu. Namun kamu tidak bisa tinggal lebih lama di puncak karena hari sudah senja, maka diputuskan kembali ke kamp. Perjalanan turun gunung terasa jauh lebih cepat dibandingkan waktu naik, hanya dibutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk sampai kembali ke tenda kami. Inilah malam terakhir kami. Esok hari kami akan pulang dengan membawa kenangan indah.
Leave a Reply