1998_Mei_Edisi 090_peduli:
Institute Kesenian WISNOE WARDHANA
Santi
Padhepokan puser widya nusantara jawa.
Masih ingat COLORS BENETON? Semboyan ini merupakan symbol ekspresi jaman sekarang yang menginginkan kesamaan hak kehidupan setiap budaya di dunia ini. Diharapkan tidak ada lagi arogansi barat terhadap timur, putih terhadap berwarna, Ironinya, ketika memasuki jaman pluralism ini, identitas budaya daerah kita semakin bergeser. Padahal setiap masyara
kat di nusantara ini punya perangkat ajar mengajar untuk mensosialisasikan nilai-nilai masyarakatnya ke setiap generasi. Bentuknya bisa bermacam-macam, biasanya seperti system magang di seorang ‘guru’. Dengan adanya system sekolah dasar yang dimulai usia 7 tahun, perangkat tradisi ini pun telah bergeser dan biasanya diganti dengan mata pelajaran bermuatan lokal.
Kondisi ini sebenarnya sangat disayangkan karena pengetahuan dan peresapan akan identitas budaya sendiri sangat penting. Sebagai contoh bangsa India, penduduk mereka miskin, padat, tapi ada satu hal yang membuat mereka menjadi bangsa terhormat dan disegani oleh bangsa-bangsa di dunia yaitu keteguhan dan kebanggaanya pada budaya sendiri.
Di tengah sistem sekolah formal yang telah menyeragamkan bangsa ini, ternyata masih ada “sekolah” yang mau bersusah payah mengajarkan praktek-praktek budayanya kepada siapapun. Salah satunya adalah Institut Kesenian Wisnoe Wardhana di Jl. Suryodiningratan Yogyakarta. Sebuah sekolah yang ingin memperkenalkan nilai budaya jawa dalam bentuk seni tari, teater, filsafat, dll.
Sekolah ini berdiri melalui proses yang cukup panjang, yaitu berawal dari keprihatinan Prof. DR. RM. Wisnoe Wardhana (yang sering dipanggil Romo Wisnoe) terhadap tarian daerah, khususnya Jawa, yang selalu mengambil tema tentang pemujaan dan juga kritik terhadap tari internasional, seperti balet, yang digambarkan jauh meninggalkan realita.
Keprihatinan dan kritik ini kemudian menuntun Romo Wisnoe untuk menciptakan sebuah seni tari baru yang disebutnya sebagai sebuah seni tari modern (contemprorary dance) yang bersifat universal. Secara teknis, tarian ini menggabungkan antara seni tari Jawa, Hindu dan pencak silat. Sedangkan secara filosofis, seni tari modern ini lebih universal daripada seni tari yang bertaraf internasional sekalipun karena seni tari modern menyadarkan dirinya pada kemanusiaan secara utuh tanpa membedakan antara seni barat dan seni timur.
Pada tahun 1957, secara mengejutkan sebuah tarian yang diberinya judul “tarian pekan olah raga”. Tarian ini ditampilkannya di depan forum Kongres Pemuda di Surabaya. Tanpa iringan musik dan tanpa busana tarian yang rumit (hanya mengenakan semacam baju renang), Romo Wisnoe menampilkan tarian yang diciptakannya tahun 1956 tersebut.
Tanggapan terhadap tarian-tariannya yang unik memang tidak mengecewakan, Antusiasme ke luar negeri selama satu tahun unutk mempelajari berbagai tarian di banyak negara, telah mendorongnya ke Indonesia pda tahun 1958. Sekolah tari tersebut bernama Contemprorary Dance School Wisnoe Wardhana, Cikal bakal dari Institut Kesenian wisnoe Wardhana. Pada saat sekolah tari tersebut dibuka, siswa yang masuk hanya 11 orang, namun pada tahun 1963 telah bertambah lima setengah kali lipat.
Pada saat jumlah siswa bertambah banyak inilah, sekolah tari tersebut berubah nama menjadi Akademu Tari Wisnu Wardhana. Sesuai dengan namanya, akademi ini hanya memfokuskan dirinya pada bidang seni tari.
Pada tahun 1967, Romo Wisnoe mencoba menampilkan sebuah pertunjukan wayang tiga dimensi (yang meliputi wayang golek, wayang kulit, dan wayang orang) dengan sekaligus menggunakan tiga bahasa (Indonesia, Inggris dan Jawa) dalam satu lakon,. Pertunjukan yang beralngsung hanya dalam jangka waktu 30 menit tersebut merupakan sebuah eksperimen yang berhasil karena mendapatkan respon yang luar biasa.
Hal ini kemudian mendorong Romo Wisnoe untuk merubah nama Akademi Tari yang dipimpinnya menjadi Institut Kesenian Wisnu Wardhana pada tahun 1972. Dengan merubah akademi tari menjadi sebuah institut kesenian maka Romo Wisnoe memperluas pendidikan keseniannya tidak hanya pada seni tari tapi juga teater, musik perfilm-an, pedalangan, dan sebagainya. Selain itu pada tahun yang sama, Romo Wisnoe juga menerapkan sistem pendidikan formal seperti yang terdapat pada institut kesenian lainnya. Perlu diingat, Institut Kesenian Wisnoe Wardhana ini berdiri 12 tahun lebih awal dari Institut Seni Indonesia (ISI) yang menggunakan sistem pendidikan formal.
Pemakaian sistem padhepokan ini bertolak belakang dari tujuan Romo Wisnoe untuk memberikan pendidikan tentang seluruh budaya Jawa tanpa terkecuali. Sedangkan misi dari Institut Kesenian ini adalah Mamayu Hayuning Bawana (membuat budi luhurnya). Institut ini memberikan 25 mata pelajaran yang antara lain meliputi pelajaran batik, pijat tradisional, seni tari, karawitan, patung, puisi, arsitektur, pedalangan dan sebagainya. Disamping mempelajari secara fiik, siswa Institut Kesenian ini juga memperoleh pendalaman tentang falsafah spiritual Jawa (Kejawen).
Lama pendidikan di Institut ini adalah 4 tahun yang terdiri dari 9 tingkatan (semester). Uniknya, acara wisuda dilakukan pada setiap kenaikan tingkat. Disamping itu, hal menarik lainnya adalah masing-masing tingkatan mempunyai sebutan yang unik yaitu ulu gantung untuk tingkat 1, indhung-indhung untuk tingkat 2, cantrik untuk tingakt 3, cekel untuk tingkat 4, manguyu untuk tingkat 5, jejanggan untuk tingkat 6, puthut untuk tingkat 7, ajar untuk tingkat 8 dan wasi untuk tingkat 9.
Namun meskipun lama pendidikan hanya sampai 9 tingkatan, siswa dapat meneruskan pelajarannya untuk pendidikan untuk semakin menyempurnakan apa yang telah diterimanya selam ini. Tingkatan ini disebut rantun kasampurnan (terminal menuju kesempurnaan).
Siswa dari Institut Kesenian ini terdiri dari berbagai kalangan. Bahkan meskipun Institut ini memusatkan perhatiannya secara penuh pada budaya Jawa, mereka juga membuka kesempatan bagi orang-orang luar Jawa bahkan luar Indonesia untuk masuk dalam Institut tersebut jika mereka memang berkeinginan untuk mempelajari budaya Jawa. Institut ini pun memberikan kesempatan bagi orang yang hanya ingin mempelajari satu bidang saja tentang kesenian jawa (misalnya hanya ingin mempelajari tentang karawitan).
Sistem pembayaran di padhepokan ini tidak langsung dibayar selama satu semester namun dibayar setiap kali datang ke padhepokan untuk memperoleh pelajaran. Pelajaran biasanya diberikan dua minggu sekali, pada hari Sabtu atau Minggu, dan berlangsung dari jam 2 siang sampai jam 9 malam. Dengan demikian, maka siswa yang berasal dari luar kota Yogya diijinkan untuk menginap di padhepokan tersebut setiap kali mereka mengikuti pelajaran. [santi]
Leave a Reply