Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

insenator

Written in

by

2000_April_Edisi 111_bahas:
insenator
Ade Tanesia/Joni Faizal

Bersedia
Menampung Botol Bekas!
Jangan buang botol bekas air minum Anda! Seorang teman, pemilik rumah makan vegetarian di Yogyakarta tak pernah bosan mengingatkan tamunya. Ia rela menjadikan rumah makannya “tempat sampah” botoh-botol kosong. Bahkan telah disiapkan dispenser Aqua bagi tamu yang ingin mengisi botolnya dengan air putih. Tentu saja mereka harus membayar sebesar Rp. 500. Kini banyak pihak yang mulai menyadari peran botol-botol bekas sehingga bersedia menjadi “tempat sampah” dan mengubahnya sesuai kebutuhan. Di Sulawesi Selatan dan Tenggara , botol ukuran 1000 ml, digunakan sebagai pelampung jala nelayan. Botol yang juga dapat dijadikan tempat persemaian pohon. Bahkan ada yang sangat kreatif untuk merancangnya sebagai bahan kerajinan seperti vas bunga, hiasan lampu dan lukisan dinding. Di Kebun Binatang Ragunan para pedagang asongan mengisi waktunya sambil membuat mainan baling-baling dari botol bekas yang dijual untuk anak-anak. Kalau ingin lebih canggih, ada sebuah alat pencacah botol bernama crusher. Mesin ini memiliki kapasiatas 500 kg sampai 1 ton perhari. Setelah botol-botol tersebut dicacah, maka kelak akan digunakan lagi untuk membuat botol atau benda-benda plastik lainnya.

Menurut Eka Buadianta, Direktur Sosial PT. Tirta Investama, Aqua. Namun karena alat tersebut tidak digunakan sebagai mana mestinya dan banyak yang tidak berfungsi, maka Aqua menghentikan program ini. “Barangkali masyarkat kita masih malas atau mereka tidak mengerti ya?” Kata Eka Budianta. Namun kemudian ia menjawab bahwa kalau kita cukup kreatif memfungsikan botol bekas makas sebenarnya, makin banyak orang yang mau menjadi tempat sampahnya.

Komposer
Jika sekitar 45 persen sampah kota berupa sampah organik, maka sasaran utama yang harus diikutsertakan dalam penuntasan masalah sampah adalah rumah tangga. Sejak tahun 1992, sebuah lembaga penelitian pemerintahan dari Departemen PU telah mengembangkan alat pemusnah sampah organik yang disebut “komposer”.
Terbuat dari drum plastik dengan harga Rp. 30.000 per unit, composer dapat dipasang di halaman rumah. Prinsip kerja alat yang ditanam di tanah ini adalah menghancurkan sampah organik seperti ikan, sayuran, buah-buahan, nasi basi, dengan bakteri yang berasal dari tanah. Setelah dibiarkan selama 6 bulan, sampah akan berubah menjadi pupuk kompos. Selama proses berlangsung, sampah ini tidak mengeluarkan bau tidak sedap, karena alat itu sudah dilengkapi dengan pipa-pipa vertical yang sekitarnya dipadati oleh kerikil. Selain untuk rumah tangga, komposter juga bisa digunakan untuk pasar-pasar yang 90 persen buangannya berupa sampah organik.

Salah satu keunggulan alat ini, selain mampu menghancurkan sampah organik di “kandangnya” sendiri, juga mengurangi ketergantungan rumah tangga pada petugas kebersihan. Seperti sering kita ketahui, petugas kebersihan seringkali absen, sehingga jika ada alat komposter, sampah yang sudah menumpuk akibat keterlambatan pengumpulan tidak menebarkan bau. Alat ini juga bisa mengurangi lalat dan binatang pengacak sampah yang sering berkerumunan di wadah sampah. Namun alat komposter juga punya kelemahan, penempatannya tak boleh terlalu dekat dengan sumur-sumur dangkal penduduk. Di samping itu, komposter juga sulit diterapkan pada daerah-daerah yang permukaan air tanahnya tinggi. Komposter yang membutuhkan lahan sekitar satu meter persegi juga sulit dipasang di rumah-rumah tanpa halaman.

Salah satu tempat sampah yang termasuk canggih adalah inesiator. Tempat sampah ini tidak saja memanaskan sampah yang masuk ke “perut”nya, melainkan juga dapat merubahnya menjadi energy seperti penggerak turbin listrik atau keperluan lainnya. Proses semacam ini dinamakan insinerasi atau tepatnya proses pembakaran sampah ada temperature tinggi dengan mengatur kondisi dan penyaratan yang diperlukan, sehingga proses pembakaran berlangsung secara sempurna.

Insenator pertama kali diperkenalkan di Inggris pada tahun 1870 yang dinamakan “grematory”. Pada tahun 1980, alat ini sudah banyak dikembangkan dan teknologi prosesnya pun banyak penyempurnaan. Insenerasi dianggap sangat efisien karena dapat menurunkan volume sampah hingga 90 persen. Residu pembakaran merupakan bahan yang tidak terbakar atau tidak hancur dengan proses pembakaran, biasanya terdiri dari bahan-bahan anorganik seperti logam, kaleng-kaleng, kaca, keramik, dan abu. Residu ini masih bisa dimanfatkan bila disalurkan ke pemulung dan industry yng memerlukan. Pada insenerasi, sebelum udara pembakaran dibuang ke atmosfer bebas, udara itu disaring dan dibersihkan terlebih dahulu dengan perlakuan khusus, hingga konsentrasi polutannya dapat diturunkan bahkan dihilangkan sama sekali.
Sayang, di Jakarta sendiri insinerator hanya menjadi percobaan Pemerintah Daerah tanpa dibarengi dengan keseriusan dalam pengelolaannya. Padahal, insenator, dibiayai dengan harga yang tinggi sementara sampah tetap menumpuk dan tak tersalurkan. Apakah ini gambaran dari kerja pemerintahan yang kurang baik atau masyarakatnya yang tidak peduli? Entahlah!

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *