Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

Ili-ili sang penguasa air

Written in

by

2002_Maret_Edisi 132_Bahas
Ili-ili sang penguasa air
Joni Faizal
ili2
Sebut saja namanya Teguh. Usianya sekitar lima puluh tahunan. Ia, seperti petani lain lebih sering memakai celana hitam selutut. Tidak ada tanda-tanda dari penampilannya yang menunjukkan kewibawaan. Tapi di Balerejo,Kecamatan Batanghari, Kabupaten Lampug Timur, ia adalah orang penting.

Teguh memiliki kekuasaan besar, karena ia adalah seorang ili-ili, petugas yang paling bertanggung jawab terhadap aliran air dikampungnya. Ia adalah pemilik hak untuk mengatur kemana air akan dibelokkan, kapan aliran air akan dihentikan. Artinya, ia pula yang menjadi tumpuan keberhasilan dan kegagalan panen desanya.

Di desa Balerejo, distribusi air menganut system jonggolan, yaitu pengelolaan air dengan cara iuran. Dari setiap bahu (ukuran yag dipakau di Desa Balerejo untuk menyebut ¾ hektar sawah), penduduk wajib menyisihkan 30 kg gabah untuk mendapatkan air. Dan Teguh mendapat 20 kg dari setiap 30 kilogram itu! Maklum saja sebagai ili-ili Teguh tidak digaji rutin setiap bulannya.

Berbeda dengan pamong-pamong desa, ili-ili berhak pula mendapatkan “upah” setiap kali panen (baik itu musim padi maupun musim palawija) dari pemilik lahan, sementara pamong-pamong desa hanya mendapat bagiam dari pengelolahan air hanya saat muim padi.

Dengan profesi di “tempat basah” seperti itu, ili-ili berpeluang besar untuk disuap. Bayangkan saja, untuk mendapat pasokan air di luar pengairan, paling tidak petani Balerejo harus menyedot air sungai. Itu memakan biaya sewa diesel sebesar 4000 per jam. Untuk sawah seluas 0.25 bahu (1 bahu -0.7 ha.), diperlukan waktu selama 6 jam.

Seorang petani bernama Maksum mengaku lebih suka menyuap ili-ili dari pada menyewa diesel. Biaya untuk itu memang cukup besar, yakni mencapai Rp. 150.000,- sekali suap untuk lahan setengah bahu. Meski harus berhutang ia tetap rela melakukannya “Apa pun caranya, panen tak boleh gagal.” Ujar Maksum.

Cara yang ditempuh Maksum jelas hanya berlaku bagi petani yang memiliki modal. Sedangkan yang tidak, biasanya diam-diam menutup aliran air petani lainnya pada malam hari. Usahan ini tidak jarang menjadi pemicu perkelahian antar petani, walaupun diantaranya kerabat sendiri.

Sumber: Winarta, Yunita T. et.at Satu Dasa Warsa Pengendalian Hama Terpadul; Berjuang Menggapai Kemandirian dan Kesejahteraan. Jakarta; Indonesia #AO Intercountry Program, 2000¬¬¬

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *