2000_Mei_Edisi 112_bahas:
hitam putih dan Kafka dalam lukisan Enrico Soekarno
Joni Faizal
Seorang antropolog bernama Levi Strauss pernah memaparkan teorinya bahwa setiap budaya masyarakat selalu ada konsep dikotomi baik-buruk, terang gelap, yang disebutnya sebagai binary opposition. Ekspresi dari dua unsur paradox inilah yang terwujud beragam di setiap kebudayaan. Mungkin ada jutaan ekspresi hitam dan putih dalam kepercayaan masyrakat, salah satunya adalah konsep Yin dan Yang di Cina, atau di Amerika masih terdapat kelompok Ku Klux Klan yang ideologinya didasari oleh ras berwarna putih dan hitam.
Memang hanya dua warna, hitam dan putih. Namun justru disinilah kekuatan karya lukis Enrico Soekarno. Ia mampu mengekspresikan kedalaman dan keluasan pemikiran dengan hal yang paling minimal. Karya-karya lukisnya mengingatkan kita pada aroma Kafka, yang kebetulan juga mempengaruhi inspirasi lukisnya. Banyak alasan yang menyebabkan Enrico begitu kerap memakai hitam putih dalam karyanya, baik dari sisi psikologis, politis, atau pun filososi. “Bagi saya, kekuatan hitam dan putih terletak pada makna kemurnian,kejujuran manusia yang paling mendasar. Bukankah hitam dan putih adalah warna pertama yang diekspresikan manusia melalui lukisan-lukisan di dinding gua. Pengerjaan di atas bidang/lembar putih dengan sapuan hitam adalah awal peradaban manusia. Ini adalah tulisan sebelum manusia menemukan huruf,” tutur Enrico Soekarno.
Esensi dari makna hitam dan putih inilah yang kemudian diharapkan Enrico Soekarno dalam memandang segala gejala yang terjadi di lingkungannya. “Sejak sepuluh tahun yang lalu saya berikrar kepada diri sendiri, bahwa saya tidak akan menggunakan warna lagi sebelum rezim orde baru runtuh. Ya, seperti menjadi barometer kekelaman dan kegelapan kehidupan rakyat kita pada saat itu….”ujarnya. Disini, hitam dan putih menjadi simbol empati dirinya kepada berbagai persoalan di Indonesia. Namun yang menarik, Enrico tidak sekedar memaknai dikotomi hitam dan putih sebagai symbol oposisi baik dan buruk, bersih dan dosa, gelap dan terang. Ia lebih melihatnya sebagai bentuk pencarian dari sebuah ketidak-tahuan manusia terhadap esensi dirinya. Seperti yang dikatakan Enrico bahwa “kegelapan yang saya maksud bukanlah lawan dari terang, melainkan ketidak-tahuan kita ketika mencoba mengingat waktu sebelum kita dilahirkan atau ketika pikiran mencoba menembus kedalamnya.” Tentunya hal ini mementahkan anggapan tentang lukisannya yang seakan dirundung kemuraman seperti Kafka. Kalaupun memang ada pengaruh kafka dalam hitam-putih lukisannya, hal ini bukan melulu kemuraman, karena Kafka pun menawarkan sebuah pencerahan, seperti yang dikatakan Enrico bahwa “kafka adalah Zen Master barat yang pertama.”
Jika dilihat dari sisi psikolog warna, maka berdasarkan teorinya memang warna tertentu bisa menimbulkan sensasi tertentu pada diri seseorang. Namun nampaknya Enrico tidak hanya ingin mencari sensasi dangkal dalam lukisannya, ia lebih tertarik pada kedalaman rasa. Menurutnya dalam dunia periflman terdapat ungkapan “The Secret Compact between Light and Darkness, maksudnya seseorang dapat melihat tanpa menyadarinya, yaitu ketika batas antara kesadarannya dan bawah sadar menjadi sangat tipis. Dan dalam dunia rupa, hal itu bisa dicapai melalui hitam dan putih. Kedalaman dan kedalaman lah yang dicari oleh Enrico Soekarno, sehingga hitam dan putih bukan sekedar dikotomi. Seperti halnya kegelisahan Kafka, yang adalah wujud perlawanan terhadap dikotomi yang telah menyudutan dan memarjinalkan dirinya.
Foto Hitam Putih: Keterbatasan menjadi kekayaan.
Ada beberapa alasan penggemar fotografi memilih hitam putih. Di antaranya yaitu kekuatan momen, ekspresi, dan gradasi kelabu. Selain tiga hal itu, foto hitam putih juga dianggap lebih tahan lama dan abadi dibanding foto berwarna. Keabadian itu bisa kita saksikan sendiri pada karya-karya fotografer klasik maupun di dalam koleksi keluarga. Tidak semua fotografer berniat mendalami teknik fotografi hitam putih, karena memang jauh lebih rumit serta membutuhkan ketelitian. Dalam hal biaya, proses pencetakan foto hitam putih masih lebih mahal dibanding foto berwarna. Ditambah lagi tidak semua tempat dapat mengerjakannya dan seringkali prosesnya lebih lama dibanding mencetak foto berwarna.
Dalam hal gradasi warna atau kecerahan obyek, banyak di antara penggemar foto yang puas dengan cetakan hasil laboratorium foto. Biasanya mereka melakukannya sendiri dengan ilmu yang diturunkan Ansel Adam, fotografer Amerika terkenal, yang membagi gradasi foto dengan sepuluh zona Sembilan yang berarti putih total pada kertas foto. Penerapan zona ini bagi banyak fotografer tidaklah mudah, karena diperlukan ketekunan latihan dan kesabaran untuk menghasilkan foto yang sempurna.
Proses percetakan kamar gelap yang dilakukan secara manual juga dapat membantu koreksi foto akibat kesalahan percetakan. Misalnya saja foto yang kelebihan cahaya (over-exposed) atu kekurangan (under-exposed) dapat saja diperbaiki dengan pencucian yang dilamakan waktunya atau yang disingkat.
Tidak Pernah Pudar
Sejak James Clack Maxwell menemukan proses pewarnaan aditif tahun 1861 yang kemudian menambah arah sejarah fotografi, reputasi foto hitam putih tak pernah pudar. Malah dalam setiap kompetisi foto, foto hitam putih berada dalam kategori yang khusus. Di dunia Internasional kita kenal Sebastio Salgano dan kawan-kawan yang konsisten dengan foto-foto hitam putihnya. Di tanah air sendiri terdapat nama-nama seperti almarhum H.Budiarjo hingga yang lebih muda Rama Surya. Jurnalistik secara tidak langsung juga memberi pengaruh pada foto hitam putih, karena pemuatannya yang tidak berwarna di media membuatnya terus dibutuhkan. Menurut mereka, keterbatasan warna hitam putih itulah merupakan kekayaan kreativitas foto.
Leave a Reply