Rifky Effendy, atau yang dikenal dengan panggilan Goro, dulunya adalah seorang pembuat keramik di studio Bata Merah, kini adalah satu dari dua kurator pameran Amok Tanah Jawa yang akan dibuka di Langgeng Art Foundation di sore hari itu. Ia melambaikan tangannya menyambut kedatangan saya. Sambil tetap berdiri di samping meja penerimaan dan menyodorkan tangan untuk memberi salam, ia mengarahkan saya untuk melihat pameran di lantai bawah, mengingat masih ada sedikit waktu sebelum pameran karya seniman Moelyono yang ia kurasi itu, dibuka.
Di lantai bawah sedang diselenggarakan pameran berjudul Labirin, karya dua perupa muda lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Rega Ayundya dan Kara Andarini yang kini tinggal dan bekerja di Jakarta. Mereka memamerkan karya-karya yang dibuat dengan media spidol di atas akrilik dan bolpoin di atas kertas. Satu di antara banyak karya yang dipamerkan di ruang berlantai semen tanpa pendingin udara itu, adalah karya Kara berjudul Stacked Space #4.
Kara Andarini
Stacked Space #4
2017
Bolpoin di atas kertas Montval 300 gsm
95 x 180 cm
Kara membuat banyak sekali bentuk garis secara berulang. Garis tipis, garis tebal, arsiran, dan titik yang dibuat agak tebal. Coretan warna hitam dari bolpen itu dibuat berulang dan merupakan kombinasi antara garis tegas dan halus, kadang vertikal, kadang horizontal, dan diagonal. Selintas karya ini terlihat sebagai gambar sederhana (sketch) dari kotak-kotak tidak beraturan yang saling bertumpuk. Berkesan abstrak, tidak sedang menyampaikan pesan yang kongkrit.
Setelah memandanginya lebih lama, saya mulai melihat garis-garis itu membentuk bidang-bidang datar: ruang, atap, dinding, jendela, dan pintu. Ada rumah dengan antena kawat di sebelah bidang putih yang di atasnya muncul garis yang mirip bulan sabit. Atap-atap miring di atas sebuah selasar yang menaungi sebuah pelataran yang berada tepat di pinggir jurang, dapat terlihat di satu bagian. Di bagian lain, agak di tengah, muncul bayangan hitam dari sesuatu yang organik, atau mungkin itu adalah kumpulan beberapa pohon cemara yang tumbuh liar dan tidak terawat. Seutas kawat besi terlihat membentang dari satu tiang bambu ke tiang lain yang agak melengkung, kemudian membelok ke tiang lain yang berada di samping dinding bangunan bertangga terjal. Selain terdapat warung-warung yang berwujud hampir kubus dan beratap seng yang ada di mana-mana, saya juga dapat menemukan toilet terbuka yang dibuat agak terpisah dari daratan, menjorok ke sungai. Bagi saya, karya ini berbicara tentang kampung susun yang sangat dinamis dan artistik.
Stacked Space #4 bisa jadi merupakan sebuah karya yang menggambarkan sebuah kampung susun yang kosong, sepi, tanpa penduduk, tanpa kehidupan. Namun setiap kali fokus mata saya berpindah, garis-garis itu seperti sedang menari bersuka ria, saling terhubung, bergetar, bermain, dan menyampaikan pesan-pesan yang sederhana – terasa kampung susun itu tidak sepi, walau tanpa penghuni. Karya ini telah memenuhi berbagai aspek formal yang perlu dipenuhi untuk dapat dianggap sebagai sebuah karya seni. Ia memiliki tegangan ekspresi maksimal, seperti yang saya rasakan saat melihat garis-garis coretan pensil dan cat minyak di atas kardus yang dibuat Joan Miró secara hati-hati atau pada gambar-gambar cepat Gustav Klimt, yang mana lukisannya kemudian berhasil menyandingkan garis-garis dan bidang-bidang geometris dengan garis dan bidang organik yang mengekspresikan emosi secara maksimal. Agak berlebihan? Mungkin.
Garis-garis pada Stacked Space #4 ini memenuhi selembar kertas yang tingginya melebihi tinggi tubuh si seniman. Entah bagaimana ia mengumpulkan energi yang demikian besar untuk dapat menghasilkan garis-garis dengan ketebalan dan gelap tinta yang konsisten. Format karya Kara yang menggunakan kertas berpotongan vertikal sebagai medium penerima ini mengingatkan saya pada lukisan gulung lansekap Dinasti Han dan dinasti sebelumnya. Obyek yang terdekat berada di bagian bawah, berurut ke atas, di mana gambar di puncak adalah obyek terjauh, yang tetap digambarkan dengan ukuran sama dengan obyek terdekat. Saya selalu menemukan hal baru ketika menggeser pandangan mengikuti garis-garis hitam itu.
Mungkin Kara adalah seorang anomali dari Generasi Milenial – generasi yang lekat dengan berbagai aplikasi teknologi dijital sejak lahir. Ia seorang anomali karena karya yang dihasilkannya tidak menunjukkan kegagapan dalam menggambarkan sebuah situasi yang sangat relevan pada saat ini. Sebuah karya yang gagap hanya dapat terjadi bila seorang seniman memaksakan diri untuk dapat menghasilkan suatu karya yang sebenarnya berjarak dari kehidupannya sehari-hari. Garis-garis pada Stacked Space #4 terlihat alamiah, tidak dipaksakan, dan seakan memiliki ceritanya sendiri-sendiri. Pengamatan yang sangat dekat pada obyek dapat dipastikan terjadi sebelum si seniman mulai menggoreskan bolpen itu di atas kertas yang pasti telah dipilihnya dengan pertimbangan yang mendalam. Lepas dari karya yang sudah baik, sangat disayangkan adanya persoalan generasi milenial Indonesia yang sangat dekat dengan pengaruh budaya asing, khususnya Amerika, yang muncul dengan jelas. Hal ini terlihat dari penggunaan bahasa Inggris sebagai judul karya dan penulisan sinopsis berbahasa Indonesia, yang kualitasnya tidak sebanding dengan dalamnya makna-makna yang dapat diangkat dari karya-karya yang dipamerkan.
Tiba-tiba suara Goro terdengar dari atas lubang tangga, tanda bahwa acara pembukaan pameran di atas, akan segera dimulai. Saya bergegas menuju tangga dan naik. Arahannya untuk saya melihat pameran di lantai bawah adalah ide yang baik. Saya sungguh beruntung, tidak melewatkan karya baik dari seniman muda yang mungkin akan makin menjadi nantinya.
Leave a Reply