2000_Februari_Edisi 109_bahas:
fragile
Ade Tanesia/Rohman Yuliaawan
Kata paten berasal dari litterae patentes, yang digunakan untuk mengungkapkan pemberian atau hak istimewa (privilege). Pada perkembangannya, kata paten selalu dihubungkan dengan hak khusus bagi sebuah penemuan yang diberikan oleh pemerintah. Pemberian paten ini bisa dikatakan telah berlaku sejak akhir abad ke-15 di Venezia. Salah satu orang yang mendapatkan paten dari negara ini adalah Galileo Gallei untuk sebuah temuannya yang berhubungan dengan teknik memompa air pada tahun 1594.
Tidak seperti Hak Paten, hak cipta hanya melindungi wujud karya cipta, buka ide yang melandasinya. Alasannya, bila ide saja sudah dilindungi, justru yang akan terjadi adalah pemberangusan kreativitas. Karena ide-ide yang dikira baru belum tentu benar-benar baru. Selain itu, akan terjadi batasan-batasan yang menghambat munculnya karya baru di tahap ide saja, kita harus sudah repot berurusan dengan orang-orang yang terlebih dahulu mendaftarkan ide tersebut.
Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta ataupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya (copyrights), atau memberi izin untuk itu dengan mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.
UU Paten mencakup temuan dan teknologi, kerja yang dikerahkan untuk menciptakan barang-barang baru, Undang-undang ini memberikan hak kepada penemu atau perusahaan yang telah diserahi hak tersebut untuk menghentikan orang lain membuat, menjual atau menggunakan temuannya tanpa ijin darinya.
Merek dagang, berhubungan dengan undang-undang mengenai pemasaran. Pengadilan akan melindungi merek/istilah seperti Kodak, Pepsi, dan sebagainya, dari tiruan atau penggunaan tanpa ijin. Perlindungan ini bukan karena merek/istilah tersebut berupa ungkapan daya cipta atau kecerdasan manusia, tetapi lebih merupakan rambu bagi konsumen, yang menunjukkan satu sumber tertentu bagi suatu barang dengan mutu tertentu pula.
Hak publisitas, merupakan doktrin perluasan dari undang-undang merk dagang dan anti monopoli untuk menampung ide mengenai adanya nilai niaga dari keberadaan seseorang. Misalnya, nama pelawak terkenal dipakai tanpa ijin sebagai merek makanan, maka penggunaan nama untuk tujuan dagang tersebut telah melanggar hak publisitas pelawak tersebut.
Plagiat atau menjiplak, yang dianggap orang banyak kaitannya denga hak cipta, sebenarnya bukan doktrin hukum atau bukan pelanggaran hukum, tetapi lebih merupakan pelanggaran etika. Namun akan lain kejadiannya, bila karya yang dijiplak tersebut dilindungi oleh hak cipta, maka memperbanyaknya tanpa ijin berarti melanggar hak cipta.
Konsep yang dianut oleh Undang-Undang Hak Cipta terhadap karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusasteraan pada dasarnya menganut paham eksklusivisme, artinya, hak itu hanya dapat dilaksanakan oleh pemegang hak cipta. Namun melalui perjanjian lisensi antara pemegang hak dengan pemegang lisensi, paham ekslusivisme ini menjadi paham sosialisme, yaitu orang lain dapat mengunakan hak tersebut sesuai dengan persayaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut dituangkan dalam bentuk-bentuk lisensi yang mengharuskan pemegang lisensi membayar royalty kepada pemegang hak cipta.
Suatu ciptaan yang dibuar berdasarkan hubungan dinas atau berdasarkan pesanan, maka pihak yang mempekerjakan orang bersangkutan adalah pemegang hak cipta, kecuali ada perjanjian lain. Tapi tetap harus diperhatikan adanya hak dari pembuat sebagai penciptanya jika ciptaan tersebut digunakan ke lura negeri dari hubungan dinas.
Apabila suatu ciptaan tidak diketahui siapa penciptanya, maka negara pemegang hak cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya. Tapi bila karya tersebut sudah diterbitkan, maka pihak penerbitlah yang memegang hak ciptanya. Hal ini berlaku pula untuk karya yang hanya mencantumkan nama samaran dari penciptanya, kecuali bila pencipta dapat membuktikan bahwa karya tersebut adalah buah tangannya.
Leave a Reply