2000_Desember_Edisi 119_bahas:
duduk
karena sikap duduk meletakkan kedudukan manusia
Sedari kecil kita sudah diajarkan untuk “duduk manis” di saat makan. Menginjak sekolah, kita diajar untuk “duduk rapih” dengan tangan melipat ke meja sambil mendengarkan sang guru bicara di depan kelas. Kaum wanita diajarkan agar “duduk anggun” dengan menumpangkan kaki kanannya ke kaki kiri. Begitulah seterusnya…Artinya cara duduk manusia bukanlah bawaan lahir, melainkan produk budaya. Beragam cara duduk manusia akhirnya menjadi sebuah bahasa yang mengahantarkan kisah-kisah tentang manusia dalam lingkup budayanya.
Awalnya Bersila
Sebelum mengenal kursi (berasal dari bahasa arab, kersi), cara duduk masyarakat di Indonesia adalah bersila di atas tikar atau kadang bale-bale. Sebenarnya tidak ada data akurat yang menerangkan sejak kapan masyarakat di Indonesia memakai kursi. Nampaknya duduk di atas kursi belum terlalu lama dikenal oleh masyarakat di nusantara ini. Kursi-kursi tersebut banyak dibuat oleh tukang kayu asal cina yang telah menetap di nusantara ini sejak abad ke-17. Sebuah penjelasan dari W. Dampler di tahun 1688 menyebutkan bahwa orang-orang cina telah membawa beberapa peralatan seperti alat kayu, dan mereka sering mengerjakan meja, kursi, dan lain-lain”. Tidak semua lapisan masyarakat menggunakan kursi, aada awal abad ke-20 saja, para pribumi masih harus bersila di depan seorang pegawai negeri. Dan hanya orang Eropa atau bangsawan yang boleh duduk di atas kursi. Setelah setiap orang tanpa pandang bulu diperbolehkan memiliki sikap duduk ini, maka duduk “cara Eropa” ini dengan cepat tersebar. Namun sisa-sisa gaya duduk bersila masih sering dilakukan secara tidak sadar, misalnya jika kita kelelahan maka jongkok merupakan pilihan paling nyaman. Atau seringkali kali seseorang menaikkan kakinya atau duduk bersimpuh di atas kursi.
Nampaknya bersila memang sulit sihapus oleh masyarakat, dalam kebudayaan Jawa saja, bersila merupakan simbol duduk yang punya makna filosofi. Sila (berasal dari kata susila), yaitu duduk dengan kaki dilipat berarti menghadap atasan sambil mendudukkan batin. Selain itu, ada istilah “lenggah” yaitu duduk pada landasan yang disebut “dampar”. Yang boleh duduk di atas dampar ini hanyalah para Raja atau orang yang mempunyai jabatan. Para pejabat tidak boleh duduk dengan sandaran, karena yang menjadi sandaran untuk menegakkan tulang punggungnya adalah pusaka keris. Posisi duduk yang dianggap paling tidak sopan oleh masyarakat Jawa disebut “njegang yaitu dengan satu kaki diangkat, dan paling ditabukan bagi kaum putri.
Hingga kini di berbagai masyarkat Indonesia, bersila masih sering kita jumpai dalam acara selamatan, ketika para tamu duduk bersila dalam bentuk lingkaran serta makan bersama. Mungkin kehangatan dalam interaksi sosial menjadi salah satu sebab sulitnya gaya bersila pupus di masyarakat Indonesia yang tetap mementingkan kehidupan kolektif.
Kursi pun bisa kepanasan!
Kalau kursi bisa bicara, mungkin dia akan berkata…”cukup…jangan duduki aku lagi, aku kepanasannnnnn”. Memang bukan hanya manusia yang bisa kepanasan, kursi pun bisa panas akibat terlalu lama diduduki oleh seseorang. Adalah kaum supir yang sering membuat alas kursi menjadi kepanasan. Sopir taksi misalnya, hampir separuh dalam satu hari dilewatinya di atas mobil. Tentunya rasa pegal-pegal sudah menjadi konsekuensi profesinya. Tidak heran jika supir taksi KOSTI Jaya membungkus kursi kemudinya dengan kayu agar darahnya mengalir lancar sehingga dirinya tetap sehat. Lainlagi gaya duduk para supir mikrolet atau metromini. Seringkali terlihat posisi tubuhny dimiringkan dan menyandar pada pintu kendaraannya. Selain posisi duduk ini sangat strategis untuk melihat kendaraan di depannya, tapi juga dapat meringankan keletihan sang supir mikrolet. Ada pula yang menggunakan bantal…””Kalau nggak pakai bantal, pantat rasanya panas sekali mas. Lagipula bantal bisa buat ganjal kepala kalau sedang istirahat sambil rebahan,” jelas Pak Sukir, pengemudi bus trayek Yogya-Semarang. Bantal sebagai alas tambahan kursi supir juga banyak dipakai untuk meredam getaran jika jalan yang dilalui terhitung jelek, seperti banyak dipakai oleh sopir angkutan umum di Bawean. Selain pantat panas, tentu ada akibat lain yang disebabkan waktu duduk terlalu lama atau posisi duduk yang tidak nyaman. Sakit pinggang dan punggung adalah ketidak-nyamanan yang kerap dirasakan oleh para supir. Bahkan menurut laporan majalah Time ada sebuah kasus fatal tentang wanita Inggris yang duduk terlalu lama di pesawat terbang kelas ekonomi rute Australia-London. Selama 20 jam ia duduk di penerbangan kelas ekonomi. Bangkunya sangat tegak sehingga kakinya tidak bisa leluasa selonjor. Sampai di tujuan, orang tersebut pingsan dan ternyata terjadi pembekuan darah di kakinya yang mengganggu fungsi paru-parunya dan beberapa jam kemudian ia meninggal. Akibat fatal ini tentunya bisa menjadi pelajaran, betapa seriusnya efek negatif duduk bagi kesehatan tubuh.
“Duduk-Duduk”
Masih adakah waktu “duduk-dudk” di sore hari bagi orang yang tinggal di kota metropolitan seperti Jakarta? Hidup di Jakarta tidak lagi sama seperti gambaran harmonis keluarga di buku-buku SD yang memperhatikan suasana di sore hari ketika Ayah sudah pulang kerja, sang Ibu sibuk menyediakan kopi dan makanan kecil, anak-anak sudah mandi, dan mereka duduk santai bersama. Gambaran ini sudah berganti dengan sore hari yang terlewatkan. Karena jam empat sore saja, Ayah atau Ibu masih berada di kantor. Belum lagi terkena macet di jalan, mungkin mereka baru tiba di rumah jam tujuh atau delapan malam karena kebanyakan warga masyarkat masih berada di dalam ruang yang terus menerus diterangi lampu. Kesempatan untuk “duduk-dudk” di taman kota juga sangat kecil. Taman kota yang berfungsi untuk relaksasi warganya kini menjadi ruang publik yang ditakuti. Berbagai berita kriminalitas dan ketidak pastian hukum telah membuat warga kota enggan memanfaatkan ruang publik sebagai ajang duduk-duduk. Sebagai gantinya, ajang duduk-duduk di kota besar beralih ke kafe-kafe sambil ngopi. Artinya jika dulu menikmati duduk-duduk tidak perlu membayar, kini harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit.
Bagaimana dengan masyarakat kota yang tinggal di pemukiman kumuh. Saat sedang menyusuri perkampungan di daerah Pisangan Baru, Jakarta Timur, dapat kita temui warga kampung yang melewati sore harinya di pinggir-pinggir gang. Oleh karena kecilnya rumah, maka ruang tamu ditiadakan, dan warga akhirnya mengeluarkan kursinya keluar rumah. Bagi anak muda, seringkali mereka duduk-duduk di pos ronda sambil main gitar. Gang yang sangat sempit telah dimanfaatkan oleh warga kampung sebagai ajang duduk-duduk santai sambil bersosialisasi dengan tetangga.
Kini momen duduk-duduk yang digambarkan secara ideal dalam buku-buku SD masih bisa dinikmati oleh warga yang tinggal di pedesaan sore tetap menjadi milik mereka untuk bersantai, ngobrol, minum teh, atau mencari kutu rambut (pepe’tan) di beranda. Bahkan di kepulauan Bawean, Gresik, hampir di setiap halaman rumah penduduk terdapat bangunan kecil menyerupai dangau yang disebut “durung”. Di balai-balai bambu beralas tikar, pemilik rumah dapat bercengkerama dengan keluarga maupun tetangga sembari mempersiapkan masakan atau sambil menisik pakaian. “Suasananya sangat menyenangkan, kita duduk-duduk sambil bertukar cerita, kadang ditemani hidangan makanan kecil dan minuman hangat,” kata Ali seorang mahasiswa UGM asal Bawean.
Momen duduk-duduk memang memiliki fungsi sosial yang tidak hanya merekatkan keluarga, tapi juga anggota masyarakat. Di samping itu, dari segi kesehatan aktivitas ini merupakan salah satu cara untuk melemaskan ketegangan syaraf akibat kerja sehari penuh. Bisa dibayangkan warga kota besar yang tak lagi mempunyai kesempatan duduk-dudk, berarti tak juga memiliki waktu untuk mengendurkan urat syaraf. Tidak heran jika ada anggapan bahwa usia orang pedesaan lebih panjang daripada orang kota.
Sebagai Simbol Perlawanan
Banyak cara untuk menyampaikan protes. Aksi duduk merupakan salah satu taktik yang digunakan demonstran untuk mengemukakan sikap perlawanannya terhadap sesuatu hal. Biasanya para demonstran masuk ke ruang publik dan duduk sampai tuntutan mereka dijawab oleh pihak yang dituju. Metode ini pernah dilakukan oleh pemimpin besar India, Mahatma Gandi, dimana para buruh India melakukan aksi duduk untuk meraih kemerdekaan dari Inggris. Aksi ini juga diadopsi oleh kaum negro Amerika untuk memperjuangkan hak-hak sipilnya di negara bagian Carolina Utara. Dan hal ini serupa diikuti oleh aktivis mahasiswa untuk menentang peperangan di Vietnam di tahun 1970-an. Kaum buruh mobil Amerika tak ketinggalan melakukan mogok duduk untuk menentang perusahaan General Motor di tahun 1937. Di masa depresi, para buruh Detroit tak kehabisan akal melakukan aksi duduk terhadap Motor Car Company antara tahun 1932-1934. “Sitdown and watch your pay go up”. Inilah slogan para buruh saat itu dan hasilnya gaji mereka naik 100% dari 575 perjam menjadi 51.50.
Aksi duduk di Indonesia sebenarnya sudah dimiliki oleh Kerajaan mataram yang dikenal dengan istilah pepe. Pepe adalah cara unjuk rasa atau protes seseorang terhadapa Raja mataram. Biasanya disebabkan karena hukuman yang dijatuhkan pada dirinya atau anggota keluarganya kurang adil. Aksi pepe ini bisa dilakukan secara tunggal atau berkelompok dengan menggunakan pakaian serba putih, ikat kepala putih berbentuk kerucut. Lalu orang yang bersangkutan duduk bersila di atas rerumputan alun-alun tepat di antara poho beringin. Waktu pepe berlangsung dari pagi hingga siang hari. Posisi duduk Raja yang tepat berada di garis lurus alun-alun akan mengetahui bahwa ada segolongan rakyatnya yang tidak setuju dengan keputusannya. Kalau raja yang bijak, maka ia akan keluar mendengarkan gugatan rakyatnya.
Ukuran Kaki Lebih Kecil Saat Duduk.
Bagaimana Anda menggunakan ukuran kaki di toko sepatu? Pada posisi duduk atau berdiri? Ini mungkin pertanyaan sepele, tapi tahukah Anda bahwa mengukur kaki pada posisi duduk menjadikan ukuran kaki lebih kecil. Inilah yang dikemukakan oleh Ferial Hadipoetro dari UPP Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dalam laporan penelitiannya yang kami temukan di Pusat Data Informasi Ilmiah (PDII) LIPI beberapa waktu lalu. Penelitian yang dibuat tahun 1989 tersebut melaporkan bahwa ukuran kaki manusia lebih kecil beberapa inci dibanding sewaktu pengukuran pada posisi berdiri. Dalam pengujian yang dilakukan kepada 61 atlet pelari di PASI Kodya Bandung. Ferial mendapatkan bahwa panjang “ball” (bagian kaki terlebar) yang lebih kecil, tetapi pengecilan terjadi juga pada lebar ball, tinggi ball, lingkaran ball, dan juga tinggi tarsal. Dari laporannya Ferail menyarankan agar mengukur sepatu atlet sebaiknya dilakukan sewaktu berdiri karena posisi kaki dalan keadaan menyanggah beban. Dan dari kutipan Ragnasson (1988) ia menyarankan pemakai sepatu, pilihlah sepatu yang pas dan belilah satu nomor lebih besar.
Posisi duduk & 0:14:68 Lebih Cepat!
Banyak industri besar maupun kelas rumah tangga yang belum memperhatikan kenyamanan duduk para pekerjanya. Padahal persoalan ini berkaitan erat dengan produktivitas perusahaan. Sebagai contoh, perusahaan rokok Nojorono di Kudus yang sebelumnya membiarkan buruh divisi pres bekerja dengan cara bersila, kemudian menggantinya dengn cara duduk di kursi, rupanya memberi pengaruh pada kecepatan pengepresan rokok di pabrik tersebut. Menurut penelitian Lianawati dari Pascasarjana UGM, dengan adanya perubahan sikap duduk yang sesuai dengan antropometrinya (segmen tubuh manusia), maka prestasi bekerja akan lebih meningkat dan keluhan fisik dapat diatasi. Sebagaimana dilaporkan Lianawati, kalau saat bersila seorang pekerja membutuhkan waktu 21,03 menit untuk menyelesaikan satu paket pengepresan roko, maka dengan duduk di kursi yang ergonomis ia hanya membutuhkan waktu 19,83 menit untuk pekerjaan yang sama. Bayangkan kalau di dalam pabrik tersebut terdapat sekian ratus pekerja, lalu dikali dengan lamanya waktu bekerja, akan berapanilai produktivitas yang didapatkan. Dan tentu saja perlu ditambahkan bahwa kesehatan pekerja merupakan aset yang berharga.
Duduk Yang Ergonomis
Seringkali kita mendengar ungkapan “tempat duduk yang ergonomis”, tapi kadang tidak mengetahui makna kata tersebut. Ergonomis sebenarnya sebuah ilmu yang mempelajari manusia dalam berinteraksi dengan alat kerja dan lingkungannya. Tempat duduk yang ergonomis berarti mampu membantu orang ysng duduk untuk menstabilkan sendi-sendi tubuhnya, sehingga dirinya dapat mempertahankan sikap tubuh yang nyaman. Selain itu, rancangan tempat duduk ergonomis juga harus menghasilkan sikap duduk dalam bekerja yang mantap dan memberikan relaksasi otot dan tidak mengalami penekanan pada bagian tubuh yang dapat mengganggu sirkulasi darah dan sensibilitas pada bagian-bagian tersebut. Yang menjadi rancu, seakan tempat duduk ergonomis hanya identik dengan kursi-kursi berharga mahal. Padahal setiap orang bisa merancang tempat duduknya agar ergonimisnya atau mencapai kenyamanan.
Agus Alwanto dalam tesisnya membahas tentang pentingnya tempat duduk ergonmis untuk kenyamanan kerja tenaga kerja wanita tenun handuk ATBM (alat tenun bukan mesin) di Kabupaten Klaten. Sebelumnya para tenaga kerja tenun handuk tersebut duduk dikursi dengan tinggi 62 cm, lebar papan duduk 20 cm, panjang papan duduk 30 cm, beralaskan kayu dan tebal papan duduk 3 cm. Dengan kondisi semacam ini, para tenaga kerja tersebut mengalami pusing-pusing, pegal di punggung, nyeri di pinggang, leher kaku setelah satu sampai dua jam bekerja. Lalu dalam penelitiannya Agus Alwanto mencoba menerapkan metode pencapaian kursi ergonomis dengan mengukur tubuh para tenaga kerja saat mereka duduk. Adapun yang diukur adalah batas pada posisi duduk, tinggi duduk, tinggi siku duduk, tinggi pinggul. Tinggi lutut duduk, panjang tungkai atas dan bawah, lebar pinggul. Kemudian dari pengukuran tersebut, akhirnya diperoleh sebuah ukuran rata-rata tempat duduk ergonomis bagi pekerja, yaitu tinggi duduk 60 cm, panjang dan lebar alas duduk 40 cm, lebar sandaran punggung 15 cm dengan kemiringan 3-5 derajat ke belakang dari garis tegak lurus, dan alas duduk diberikan sepon. Lalu dirancanglah kursi yang memenuhi tuntutan ukuran tersebut, sehingga hasilnya lebih nyaman, dapat mengurangi kegelisahan saat bekerja dan jika sebelumnya para tenaga kerja tersebut hanya memperoleh 17-19 lembar tenun handuk per harinya, maka kini terdapat peningkatan produktivitas sebesar 8,36 %. Selama ini kenyamanan kerja memang diperuntukkan bagi karyawan di tingkat tertentu, sementara para buruh belum diperhatikan secara serius oleh banyak perusahaan. Padahal mereka adalah jantung yang membuat produksi perusahaan berdenyut. Kalau mau sedikit berpikir, maka ergonomis bukanlah barang mahal.
Leave a Reply