Digital Rupiah atau Rupiah Digital? Bila mengacu pada sifat hukum (bahasa) yang berlaku di Indonesia, yaitu: Diterangkan – Menerangkan (DM), mestinya dinamakan Rupiah Digital, bukan sebaliknya: Menerangkan – Diterangkan (MD). Tulisan menarik mengenai bahasa ini dapat diintip di sini. Tapi, ah sudahlah, Nama Digital Rupiah disahkan pada 30 November 2022 kemarin, sudah tercetak secara resmi dalam Buku Putih (white-paper) Proyek Garuda. Proyek Garuda adalah bagian dari lembaga Bank Indonesia yang membangun Bank Sentral Digital Indonesia (Central Bank Digital Curency), lembaga negara yang mengurus uang digital negara ini.
Menarik untuk belajar dari apa yang tertulis di ‘buku-putih’ yang diterbitkan itu. Pada halaman 12 tertulis:
Tantangan utama yang dihadapi bank sentral dalam kaitan ini adalah mencari solusi berkelanjutan (future proof solution) yang mampu mempertahankan kepercayaan publik terhadap bank sentral dalam menjalankan mandatnya di era digital.
White_Paper_CBDC-2022
Terbaca jelas di situ bahwa sebuah bank sentral sedang memperjuangkan keberadaan/mandatnya. Ia tidak sedang memperjuangkan terwujudnya bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, seperti visi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertulis di Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Mungkin paragraf itu ‘hanya’ merupakan langkah strategis untuk mendukung misi negara yang akan mendorong tercapainya visi tersebut?
Adalah menarik ketika kita mengetahui bahwa tujuan teknologi kriptografi terdesentralisasi, yang melandasi pertumbuhan jumlah ‘pemain’ (ditulis sebagai ‘investor’ oleh BAPPEBTI) sebesar 81,6% (tidak tertulis atau entah untuk periode berapa lama), dan nilai transaksi yang tercatat, (hanya) dari empat agen penukaran uang kripto di Indonesia, senilai Rp38,3 triliun pada Maret 2022 itu adalah untuk menghilangkan keberadaan pihak ketiga (=bank).
Teknologi pencatatan yang terdistribusi (Distributed Ledger Technology – DLT, biasa disebut teknologi rantai-blok atau blockchain) itu sebenarnya merupakan aplikasi yang disodorkan pada 2008 oleh seorang programer yang tidak diketahui identitasnya sampai sekarang – Satoshi Nakamoto. Sistem rantai-blok ditambah dengan aplikasi berupa kontrak-pandai (smart contract) mengeliminasi kebutuhan akan adanya kepercayaan pada satu (atau lebih) pihak dalam mengatur transaksi. Sistem transaksi yang dilakukan secara langsung dan terbuka – A Trustless and Open System. Sistem yang (diharapkan akan dapat) mengeliminasi bank.
Penggunaan kontrak-pandai sebenarnya telah disodorkan sebelum teknologi rantai-blok itu diaplikasikan. Nick Szabo mengajukan terminologi kontrak-pintar itu pada 1994. Sistem finansial yang terdesentralisasi (Decentralized Finance (DeFi) yang ada saat ini telah menjadi tumpuan bagi banyak transaksi tanpa kehadiran bank. Sistem itu mendasari dirinya bukan pada suatu entitas formal, apalagi negara, untuk mengatur transaksi keuangan, namun bertumpu pada kontrak-pandai yang disusun dan disetujui oleh para penggunanya.
Ketika teknologi memang diciptakan untuk membantu hidup manusia untuk menjadi lebih mudah, akan kurang bijak bila pemerintah, melalui Bank Indonesia, hanya ikut-ikut melakukan pekerjaan yang juga dilakukan oleh banyak bank sentral di negara-negara lain, (hanya) demi untuk memperjuangkan mandatnya. Akan lebih pantas, bila pengelola negara ini berpikir dan bekerja (lebih) keras untuk menjawab pertanyaan: bagaimana menggunakan teknologi rantai-blok itu untuk mefasilitasi rakyat sehingga dapat hidup lebih lebih baik.
Gejala ‘salah-pikir’ memang dapat dirasakan dari penamaan Digital Rupiah yang bersifat MD itu. Harapannya kini adalah pada para pengelola negara akan dapat berpikir dengan logika sederhana, demi dapat (sedikit) ‘melompat’, untuk mengejar ketinggalan dari negara lain serta merealisasi visi negara ini.
Leave a Reply