1997_akhir April_Edisi 067_peduli:
dari tas ke tas
Tas Batiknya Ibu Neni!
Di Djogjakarta, segudang tas batik dapat ditemui di kawasan Malioboro, pasar Bringharjo atau pusat pertokoan lainnya. Tetapi, kebanyakan tas batik ini menerapkan disain, warna dan bentuk yang monoton.
Bukan hal aneh, jika tas batik tulis produksi Ibu Neni merupakan pengecualian. Karena disainnya sangat naïf dengan warna-warna yang cerah, dan bentuknya sangat tepat untuk digunakan para anak muda. “Ada kesan bahwa batik itu harus berat, etnik. Dan saya ingin merubah kesan itu dengan menciptakan desain yang naïf, cerah agar disukai anak muda”, ungkapnya. Dan terjadilah motif tas batik bak gambar para anak kecil. Visual binatang, pemandangan dan manusia diekspresikan sangat naïf, kekanak-kanakan. Untuk target konsumen ABG, Neni biasanya menambahkan tulisan pada tasnya.
Berapa harga tas batiknya? Tidak teralu mahal, berkisar antara Rp. 8.000,- s/d Rp. 9.000,-. Ukurannya 35 x 42,5 cm dan 42,5 x 42,5 cm. Sedangkan untuk ibu muda berukuran 33 x 33 cm. Untuk mengikuti trend anak muda, maka setiap 60 tas, Neni biasanya sudah mengganti disain.
Cerita tentang tas Bali
Di Bali lagi musim tas bertema back to nature yang menggunakan bahan-bahan seperti tikar pandan, kain katun, kertas daur ulang bahkan daun enceng gondok dan daun pelepah pisang. Segala jenis tas tersebut bisa dicari di sepanjang pertokoan Kuta. Tikar pandan, bahan natural yang banyak didapati adalah enceng gondok. Yang diproses, dikerangkan dan dipintai sehingga menjadi seperti kain ikat. Kemudian dilapisi dengan busa tipis dan dijahit sedemikian rupa sehingga menjadi tas yang unik karena model dan warnanya yang trendy. Bahan enceng gondok tersebut diambil dari Jawa Tengah. Sedangkan untuk daun pelepah pisang yang bagus (tipis tapi kuat) didatangkan dari Malang.
Tas dari kain katun juga banyak dijual bahkan bisa didapati di supermarket seperti Gelael dengan tulisan Bali plus gambar barong. Mungkin sasarannya selain untuk souvenir juga untuk mengurangi penggunaan tas plastik. Tas belanja dari plastik sudah mulai ditinggalkan oleh toko, restoran, hotel dan butik di Bali, mereka lebih memilih bahan kertas daur ulang lokal.
Bahkan ada sebuah yayasan yang peduli lingkungan, Yayasan Wisnu, sudah mempromosikan tas belanja dari anyaman plastik berwarna hasil daur ulang. Dengan tujuan agar orang hanya menggunakan satu tas plastik saja untuk penggunaan berkali-kali. Dengan demikian turut juga mengurangi jumlah sampah plastik Bali!
Berminat untuk menggunakan tas-tas tersebut, silahkan hubungi :
- Untuk tas belanja : Yayasan Wisnu, Jl. Muding Indah I/1, Kerobokan, Denpasar (tel.0361-424 758)
- Untuk tas tikar pandan : Bali Gallery, Jl. D. Tamblingan, Sanur atau di Jl. Legian.
- Untuk tas enceng gondok, tas pelepah pisang, tas tikar : Matamera, Jl. Imam Bonjol 335 X, denpasar (tel.0361-481-906/7)
- Untuk tas eceng gondok : Istana Gallery, Istana Rama Hotel, Jl, Pantai Kuta, Denpasar.
Dari jaman ke jaman, bentuk tas mengalami perubahan tanpa henti. Mengikuti kondisi sosial politik adanya kebutuhan baru dari masyarakat atau mengikuti kenakalan eksperimen para desainernya. Jika beberapa menit memasuki time tunnel….mungkin bisa sedikit tahun tentang perjalanan benda bernama tas ini.
Hingga abad pertengahan, kaum pria dan wanita belum memprioritaskan tas sebagai tempat menaruh uang atau benda lainnya. Saat itu dompet masih bertahan di posisi teratas, yang penempatannya dibantu oleh kalung baju. Namun kadang digunakan aunoniere atau tas kecil yang terbuat dari kulit dan diletakkan mengantung melalui ikat pinggang.
Selama jaman Renaisance, kaum pria menggunakan poket di pakaian, dan mereka enggan memakai tas. Lalu kaum wanita meneruskna pemakaian tas dengan bahan yang terbuat dari sutra, manik-manik dll.
Diawal abad 19, khususnya di masa trend neo klasik, tas menjadi asssesoris penting. Bahkan di masa Victoria, penggunaan tas diselaraskan dengan model pakaian seseorang. Tak heran jika dekorasi tas semakin beragam, misalnya dengan adanya sulaman, manik-manik serta renda. Bahan kanvas dan sutra mulai populer di tahun 1830 – 1840-an, disusul tas pinggang yang merebak pada tahun 1860-an.
Istilah tas tangan (handbag) muncul tahun 1850-an. Tas ini lebih kokoh dan berfungsi untuk membawa benda-benda yang lebih berat. Bentuk dan bahan tas semakin beragam, ada yang terbuat dari bulu, kulit, bulu binatang, atau yang berangka logam. Salah satu inspirasi bentuk tas tangan berasal dari tas kulit yang digunakan oleh para prajurit. Fungsi tas tangan ini pun meluas untuk keperluan olah raga dan perjalanan. Tidak ketinggalan tas sulam yang mengikuti gaya artistic terbaru seperti Art nouveau dan Art Deco.
Pada permulaan abad 20, tas kulit dibuat dengan warna-warna yang cerah. Juga mulai diproduksi tas-tas eksotis yang terbuat dari kulit buaya. Ketika trend melakukan perjalanan keliling dunia melanda orang eropa, tas kulit berukuran besar kerap digunakan untuk membawa passport, uang, tissue, dll.
Dimasa perang dunia 1, ketika terjadi batasan import dari Jerman, tas-tas yang terbuat dari logam kembali disukai. Sampai tahun 1920, bahan plastik yang meniru gading dan kulit kura-kura menjadi penting dalam insdurti tas.
Di era 1920-1930-an, mode tas berbentuk lurus, datar dan empat persegi panjang. Tahun 1930, pabrik tas, sepatu, sarung tangan di Inggris telah bekerja sama untuk saling menyesuaikan warna produk.
Di masa perang dunia II, tas yang disampaikan di pundak banyak diproduksi sebagai respon terhadap kondisi perang. Tas ini mirip dengan tas tangan, bedanya terletak pada pemakaian tali panjang yang disampirkan di pundak secara diagonal atau lurus. Model ini berasal dari bentuk tas pada seragam wanita sukarelawan.
Tas punggung/ransel dengan motif etnik sangat disukai di era 60 sampai 70-an, biasanya dipakai bersama celana panjang. Lalu ditahun 1980, tas ransel ini ditransformasi ke dalam bentuk yang lebih kecil dan manis.
Sumber :
- Baclawski, Karren, 1995. The Guide to Historic Costume, S.T. Batsford Ltd., London
- Wilcox Turner, R, 1989, The Dictionary of Costume, B.T. Batsford Ltd, London
- Haisl perbincangan dnegan Heni di Jl. Rotowijayan, Yogyakarta
- Bali Echo No. 027/V/97, edisi Feruari/Maret 1997
- Hasil perbincangan dnegan Sdri. Yuyun dari Yayasan Wisanu.
Leave a Reply