1999_Juni_Edisi 101_milikita:
Dari Raden Tumenggung, Drs, dr, Hingga Ssn, Se, SH, SSSSSSSSSS
“Orang tua saya datang jauh-jauh dari Pangkalanbun, Kalimantan tengah untuk menghadiri upacara wisuda saya. Nggak gampang lho membahagiakan orang tua, kalau saya yang diwisuda sih biasa saja, malah pusing mikirin kerja.” Ujar Ian dari Kalteng. Bagi Hafiz, wisuda adalah sebuah seremonial yang tidak begitu penting…” Tapi ada persoalan lain yang akhirnya mengharuskan saya untuk wisuda.. orang tua. Tapi jujur aja, saya senang melihat orang tua hadir.” Menurut budayawan Sudjiwo Sutedjo, telah terjadi kesalahan pemaknaan terhadap wisuda,”Lucu! Mungkin kita terjebak kebudayaan yang salah. Ada orang tua yang mau ngutang untuk wisuda anaknya. Kemudian setelah lulus mereka menganggap bahwa kebenaran hanya dari ilmu Pengetahuan. Mungkin hanya di Indonesia hal semacam itu terjadi. Mereka begitu bangga saat wisuda. Sementara di luar sana [luar negeri] mereka lulus-lulus saja,” ungkapnya.
Jika di tarik ke masa silam, pentingnya gelar wisuda untuk mengangkat status sosial mental priyayi warisan kolonial. Van Niel golongan priyayi adalah kelompok elit di tahun 1900 yang derajatnya di atas rakyat jelata. Mereka adalah kaum bumiputera yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan kolonial, administrator, yang diberi gelar Mas, Tumenggung. Jika yang bersangkutan keturunan bangsawan, bisa mengenakan gelar Raden Mas atau Raden Tumenggung, Adipati. Dalam novel Umar kayam, Para Priyayi, digambarkan seorang dari kalangan petani bersusah payah untuk mengangkat derajat keluarganya menjadi priyayi. Ia harus mengabdi atau ngenger pada seorang priyayi yang kelak bisa magang di sebuah kantor pemerintahan.
Sejak pemerintah kolonial membuka pendidikan tinggi, seperti Sekolah Dasar Jawa tahun, Sekolah Guru di Surakarta atau Kweekschol tahun 1852, Sekolah Teknik Bandung tahun 1924. Sekolah Hukum Batavia (1924), Sekolah Kedokteran di Surabaya (1927) maka muncul golongan priyayi baru yang memperoleh harkatnya lewat pendidikan serta jenis pekerjaan yang diperoleh karena pendidikan. Bayangkan, seseorang yang begitu tamat menjadi dokter kesehatan akan digaji anatara 75 gulden sampai 150 gulden per bulan. Disamping itu, seorang dokter bisa membuka praktek umum, dan menempati posisi yang sama seperti kaum pedagang. Tak heran hingga kini profesi dokter masih saja menjadi dambaan setiap orang tua. Lulus dari Sekolah Guru juga sangat terhormat, mereka diberi sebutan mantra guru yang gajinya di tahun 1858 sebesar 30 s.d 50 gulden.
Golongan priyayi profesional ini telah melahirkan sebuah cara hidup baru, misalnya disiplin kerja, pentingnya ketepatan waktu, keakraban hubungan antara yang tua dan muda. Lewat pendidikan pula terjadi perubahan dalam hal berpakaian. Kebiasaan duduk di kursi, berkendaraan sepeda, ternyata jenis pakaian yang lebih praktis. Sehingga pakaian tradisional yang menyiratkan simbol status kebangsawanan dan jAbatan sudah mulai ditinggalkan, diganti dengan pantaloon atau rok blues bAgi kaum perempuannya. Pakaian “modern” ini juga memperlihatkan semangat egaliter dalam memperoleh kedudukan di masyarkat. Perubahan ini memperlihatkan derajat kehormatan tidak lagi didasarkan atas keturunan, melainkan lewat jalur pendidikan sekaligus gelar yang menyertainya.
Hingga kini, harapan memperoleh kehormatan lewat pendidikan tinggi, masih tertanam di benak para orang tua. Pada masyarakat batak seorang ibu mati-matian bekerja sebagai rentenir untuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi, para petani rela menjual sawah ladangnya untuk menyekolahkan anak setinggi-tingginya. Namun tak semua orang tua sarjana yang sengaja mengkoyak-koyak ijazahnya di atas panggung wisuda. Disisi ini, kebanggan keluarga terhadap macam-macam gelar menjadi hal yang sangat ironis, karena pendidikan tinggi bukan sekedar atribut status.
Sumber: Kartodirdjo, Sartono & Sudewo, A Perkembangan Peradaban Priyayi. Gajah Mada University Press: 1987 Scheree, Prastiti, savitri. Keselarasan dan Kejanggalan : Pemikiran-pemikiran priyayi Nasionalis Jawa Abad XX. Sinar Harapan : 1985 “ada uang ada gelar”. BUSOS : Bulanan Sosial Budaya no. 251/Thn.XXVII/1997. Penerbit : Yayasan kesejahteraan Masyarakat Surabaya. Wawancara dengan Sdr. Sudjiwo.
Leave a Reply