1997_mula Februari_Edisi 062_seni:
Dari Kubah Bukan Instan sampai Kubah Instan !
Awalnya, bentuk kubah lahir dari tuntutan kondisi alam Timur Tengah. Tanpa kayu dan batu bata, masyarkat negeri tandus itu memelurkana teknologi baru yang dapat memenuhi kebutuhan akan ruang yang lebih besar bagi rumah mereka. Akhirnya untuk memperlebar ruang ditemukan bentuk busur yang perkembangannya menjadi kubah-kubah. Sejak eskpansi Islam, bentuk kubah pun menyebar dan mengalami perkembangan bentuk dan ornamen. Dan ternyata pemberian paling besar dari daerah Timur Tengah pada dunia arsitektur adalah bentuk kubahnya.
Kubah merupakan salah satu bagian dari arsitektur Timur Tengah yang juga merefleksikan fokus masyarakat setempat pada ruang dalam yang tertutup. Hal ini bisa diamati dari struktur ruang mesjid mereka. Biasanya lokasi mesjid berada di lapisan terdalam sedang di luarnya biasanya terdapat bazaar (pasar) yang menutupinya. Demikian pula bentuk kubah pada mesjid, Ia merupakan symbol bangunan yang bisa dilihat dari kejauhan, tetapi ketika dicermati dan didekati bentuknya tenggelam kedalam jaringan kubah yang kecil-kecil. Hal ini memperlihatkan sikap masyarakat Timur Tengah yang mementingkan ruang dalam yang lebih tertutup.
Kubah tidak selalu digunakan untuk mesjid. Ia mungkin saja menjadi tanda dari Istana, kuburan, kekuasaan, kota, dll. Jadi symbol kubah mempunyai makna religious (sacral), juga makna untuk kehidupan duniawi (profan).
Mulanya, bentuk kubah sangatlah kecil, terletak di atas qibla (ruangan khusus untuk menghadap kiblat) untuk memberikan cahaya secara internal dan memberikan aksen khusus untuk membedakan ruang qibla dari ruang lainnya. Setelah itu mulai terjadi perkembangan hingga kubah menjadi mahkota mesjid. Baru di masa setelah kekuasaan Seljug, kubah menjadi karakter spesifik untuk merajuk pada arsitektur Islam. Mesjid Jumat (The Friday Mosque) di Isfahah merupakan tanda dari hubungan kubah dengan mesjid. Di kubah mesjid itu tertera nama Malik Shah I dan Nizam al, Mulk pada tahun 1086-7. Mesjid Jumat di Ishafah ini merupakan katalisator untuk perubahan revolusioner desain mesjid selanjutnya.
Di Asia Tenggara, kubah mesjid baru dibangun pada abad 19. Pengembangan ini terjadi pada orang-orang muslim di Malaysia dan Sumatera Utara. Salah satu mesjid tertua denga kubah teradapat di Aceh.
Kemudian pada perkembangannya, muncul mesjid-mesjid dengan kubah bergaya India. Jiplakan dari mesjid India ini lebih jelas di Mesjid Sultan Omar Ali Saifuddin (1958), Brunei Darussalam. Kini, kubah mesjid bergaya India banyak yang terbuat dair seng, aluminium dan stainless dan diproduksi secara instan tanpa perhitungan dari sudut arsitektur. Dipasang di sebuah mesjid tanpa mementingkan kecocokannya dnegan bangunan mesjid itu sedniri. Kubah mesjid dari seng ini hanya berfungsi sebagai ekspresi identitas agama, tanpa memperhatikan segi keindahannya. Entah kapan kubah seng ini mulai muncul, namun yang jelas seng dibawa oleh orang Belanda untuk mengganti atap-atap keraton di Yogya dan Solo.
Kubah mesjid memang mengalami ragam fungsi di setiap jamannya. Dari sebuah perlakuan artistik yang menghasilkan karya seni kubah hingga perlakuan atas dasar kebutuhan yang melahirkan kubah-kubah instan. Dari kubah bukan instan sampai kubah instan.
Sumber: Maharmanto, dosen Arsitektur UKDW Yogyakarta, Marzuki, penjual kubah di daerah Samas, I “The Mosque” Martin Frishman And Hasan-Uddin Khan ed., London 1994. Majalah Kartini 266 hal. 46 & 112
Leave a Reply