1997_awal Agustus_Edisi 074_peduli:
Cap
Saat kehidupan manusia mulai disibuki oleh soal pemilikan harta benda, maka identifikasi pun menjadi hal yang penting. Mulai dari ternak hingga lukisan, semua menjadi perlu penamaan untuk menyatakan pemiliknya. Salah satunya untuk verifikasi kepemilikan.
Bila sekarang cap kebanyakan terbuat dari bantalan karet bentuk lukisan atau gambar, maka di masa silam cap ada yang terbuat dari batu-batuan mulia atau perak, karena itu, tidak jarang cap ini pun dijadikan perhiasan seperti kalung, gelang, dan cincin. Tiga ribu tahun lalu, di kawasan Babilonia sebuah cap biasanya diperlakukan sebagai sebuah “trademark”, yang seringkali dijadikan bandul kalung atau gelang oleh pemiliknya. Dan tidak hanya itu, cap diartikan pula sebagai segel yang mempunyai nilai tinggi untuk memperlihatkan status sosial seseorang dalam masyarakatnya. Di Babilonia, para pembuat cap yang dikenal juga dengan sebutan segel Mesopotamia, umunya mencetakkan gambar atau tulisan di atas tanah liat basah. Dengan ukiran gambar atau tulisan yang dibuat serumit mungkin, hampir mustahil bila cap semacam itu akhirnya melahirkan pemahat, pemahat yang kreatif. Kalau sebelumnya cap hanya bergambar sosok raja atau tokoh dan makhluk mitologi, maka pada perkembangan selanjutnya muncul cap dengan rangkaian cerita bergambar. Beberapa di antaranya yang terkenal adalah cap silinder Hittite, yang menggambarkan proses persembahan pada sebuah ritual, dan cap segel Persia (dibuat tahun 500 SM), yang menggambarkan dua bintang yag sedang bertarung.
Tidak beda dengan bangsa Babilonia, penduduk Mesir kuno pun ternyata sering membutuhkan cap pada benda keramik mereka. Motif yang paling terkenal di kawasan ini adalah kumbang serangga yang dianggap suci serta diyakini memiliki kekuatan magis. Bila di Babilonia cap banyak dijadikan bandul kalung atau gelang, maka di Mesir cap biasa dipakai sebagai cincin, sehingga muncul istilah cincin tandatangan, yang dimiliki oleh setiap orang Mesir kuno yang sebagai bukti identitas mereka.
Tak ketinggalan bangsa Yunani kuno, untuk memperkuat dokumen-dokumennya, jutawan yunani memakai stempel tandatangan yang dapat dicapkan pada tanah liat atau lilin. Binatang seperti ikan lumba-limba, singa, kuda pacuan yang tali kendalinya putus, atau seekor bangau berdiri diatas satu kaki merupakan motif-motif cap yang disenangi warga Yunani. Biasanya motif itu ditatahkan dipermukaan bawah batu Chalcedony, sejenis Kristal berwarna biru muda atau abu-abu.
Pemakaian cap tumbuh subur pula di Cina. Bahkan perkembangan cap di daratan inilah yang sering dianggap sebagai cikal bakal perkembangan teknologi cetak mencetak yang menyertakan tinta. Selama dinasti Han, cap dibuat sebagai benda resmi dalam bentuk ukuran beragam karakter pada benda-benda berharga seperti giok, perak, emas, atau gading. Cara pembuatannya tidak berbeda dengan stempel karet yang kita kenal saat ini, yaitu bantalan cetak diberi tinta dan ditekan pada permukaan bidang yang akan dicetak. Biasanya tinta cap berwarna dasar merah dengan tulisan berwarna putih.
Sementara itu, bersamaan dengan munculnya teknologi pembuatan kertas, pemakaian cap mulai merebak di Eropa. Tahun 1282, Orang Italia mulai mengembangkan teknik membubuhkan cap pada lembaran kertas, bisa disebut “watermark”. Tulisan atau gambar yang dibubuhkan hanya akan terlihat pada saat kertas diterawang di balik cahaya. Kebanyakan cap jenis ini digunakan oleh perusahaan kertas terkemuka untuk menandai produk buatan mereka. Motif binatang seperti kuda bertanduk dan perisai sangat disukai pada masa itu.
Sumber : Sejarah Desain Grafis Oleh Philip & Meggs. Vaan Nostrand Reinhold Company, NY: 1984.
Leave a Reply