2000_Januari_Edisi 108_lingkungan:
Bioteknologi bermain sebagai TUHAN
Joni Faizal/Uke R. Kosasih
Ketika seorang Hitler berangan-angan menjadi “Tuhan”, segera saja para jompo, orang-orang cacat, gelandangan bahkan orang Yahudi yang dianggapnya sebagai manusia lemah, digiring ke kamp-kamp konsentrasi sebagai sampah dunia yang tidak lolos seleksi. Namun akhirnya kita tahu, mimpi Hitler untuk menciptakan Ubermench, manusia-manusia unggul, tidak pernah terwujud. Malah hanya mengukir tragedi manusia yang tidak pernah dilupakan.
Sekarang, mimpi menciptakan bibit-bibit unggul tidak lagi mustahil. Sejak Warren Weaver dan Max Mason, saintis pada Yayasan Rockefeller, mengadaptasi gagasan reduksionis dan deterministik dari Ilmu fisika ke dalam Ilmu biologi, serta menganalisis soal keturunan dan kehidupan sebagai proses-proses kimia yang mengendalikan kehidupan. Bioteknologi telah sampai pada kemampuannnya untuk merekayasa kehidupan. Lalu lahirlah paham eugenik yang menganggap masalah kemiskinan, perang, kejahatan, penyakit kelainan mental sampai ketidak stabilan rumah tangga akan ditundukkan oleh sains.
Temuan Weaver dan Mason inilah yang dipahami sebagian orang sebagai dasar-dasar pengembangan biologi molekuler dan bioteknologi yang diletakkan pada tahun 1930-an.
Kelak, manusia pun dapat memilih sendiri sifat-sifat genetika manusia yang inginkan. Bukan mustahil hasil kloning itu akan menghasilkan manusia-manusia unggul sebagai tentara, artis, atlet bahkan ilmuwan sesuai “pesanan”.
Praktek-praktek ke arah itu pun semakin gencar. Para pakar seolah-olah berlomba dengan daya khayalnya. Penerapan bioteknologi yang emberikan kemungkinan pemanfaatan yang tidak terbatas terus dieksplorasi. Sebagai contoh, penyisipan gen-gen protein air susu manusia ke bakteri, telah memungkinkan bakteri tersebut mampu membuat protein air susu manusia. Penyisipan gen insulin manusia ke bakteri tersebut telah menghasilkan bakteri jenis baru yang mampu membuat insulin yang sekarang sudah dipasarkan. Manipulasi gen pada tanaman budi daya memungkinkan aroma kopi dan tembakau dapat diatur melalui pengendalian pola metabolisme tanaman setelah tanaman tersebut mengalami rekayasa gen. Dan yang paling mutakhir adalah rekayasa benih yang dikenal dengan U$ Patent 5723765. Kelebihan benih terakhir ini mampu tidak berkecambah alias langsung mandul setelah panen pertama. Hasilnya, masa panen bisa diatur dan para petani tidak perlu khawatir benihnya tumbuh di lumbung.
Pada prakteknya, bioteknologi selain memberikan manfaat dan harapan yang hampir tanpa batas, melainkan juga dampak yang ditimbulkannya tidak kecil pada manusia misalnya, dianggap amoral karena tidak sesuai dengan ajaran agama dan sifat alamiah yang merupakan karunia Tuhan. Sementara itu, pemanfaatan bioteknologi pada tanaman hasil rekayasa, dicap sebagai penyebab mundurnya kualitas lingkunagn.
Kekhawatiran itu muncul bukan tanpa alasan. Pengalaman Revolusi Hijau yang sederhana pun telah memberikan dampak yang serius. Penggunaan pupuk secara berlebihan, pestisida yang tidak terkendali, hingga munculnya hama yang sulit dibasmi, adalah kasus yang sangat dekat dengan cara kita mengelola lingkungan.
Kini, saatnya bagi kita untuk memilah, mana yang bermanfaat mana yang tidak. Meskipun bioteknologi tetap menjadi pilihan untuk kelangsungan hidup umat manusia, tetap saja kewaspadaan diperlukan. Tentunya kita sepakat untuk tidak membiarkan Indonesia,–sebagai satu dari tiga negara paling kaya keanekaragaman hayatinya—dibiarkan jadi ajang percobaan hasil-hasil bioteknologi yang belum tentu bermanfaat.
Leave a Reply