2001_Juni_Edisi 125_Revital:
Benda Cagar Budaya : Setelah hancur baru diatur?
Joni Faizal
Melihat banyak benda cagar budaya yang hancur di tangan pemerintah, kita sadar, UU No 5, tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, rupanya hanya memberikan hak kepada pemerintah untuk ‘menguasai’ benda tersebut dengan dalih untuk dirawat dan dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kepentingan masyarakat…
Kemana masyarakat harus menuntut jika benda-benda cagar budaya yang selama ini dirawat oleh pemerintah ternyata rusak dan hilang. Entahlah, dari sekian pasal yang tertera dalam UU No 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, tak satupun menyinggung tentang itu. Namun sebaliknya, dalam undang-undang tersebut, tidak sedikit tertera pasal yang cenderung diskriminatif, di mana masyarakat harus bertanggungjawab jika benda-benda cagar budaya yang dikelolanya rusak atau hilang. Dengan ancaman tidak tanggung-tanggung, sebagaimana bunyi pasal 27, setinggi-tingginya Rp100 juta,- atau hukuman penjara selama-lamanya 10 tahun.
Kita layak untuk prihatin. Apalagi terhadap benda-benda cagar budaya yang tidak diketahui secara luas oleh masyarakat. Artinya, benda-benda yang tersimpan di ruang arsip atau bahkan gudang, sepertinya hanya abklats. Hingga saat ini, siapa yang tahu bahawa di tangan pemerintah sekarang terdapat abklats yang jumlahnya ribuan? Bagaimana kalau ia hancur, sebelum sempat diketahui dan dimanfaatkan masyarakat?
Abklats adalah tarahan dari kertas yang dicetak di atas prasasti atau makam dalm bentuk relief. Abklats yang jumlahnya ribuan itu pada umumnya merupakan “copy” dari nisan makam-makam raja-raja dan bangsawan Aceh. Dalma bentuk berupa kertas yang dibuat berlapis-lapis, hingga mencapai 19 lapis, abklats termasuk peninggalan sejarah yang penting bagi rakyat Aceh atau Indonesia pada umumnya. Dari abklats itu kita tahu bentuk utuh nisan makam-makam raja-raja dan bangsawan Aceh, di mana makam itu dulu berada, hingga informasi mengenai penghuninya; nama, tahun lahir juga tahun wafatnya. Abklats ini juga dilengkapi dengan negative foto makam-makam aslinya.
Kita patut bersedih. Pasalnya, benda yang diperkirakan proyek pendokumentasian Belanda pada tahun 1840-an itu, kini harus berhadapan dengan serangan ngengat yang terus menggerogotinya. Padahal, hampir setahun yang lalu, di mana [aikon!] pun pernah menulisnya, disebutkan bahwa pemerintah dalam hal ini bagian Publikasi dan Dokumentasi, Direktorat Perindungan, Pembinaan Sejarah dan Purbakala, akan segera melakukan konservasi. Artinya, benda-benda yang berguna bagi pendidikan dan ilmu pengetahuan itu akan secepatnya dirawat dan dipublikasikan kepada masyarakat. Namun hingga saat ini, realisasinya dari niat itu baru dimulai pada bulan Februari lalu. Kini pun harus terhambat lagi oleh masalah birokrasi peralihan Depdikbud yang dipecah menjadi Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Menurut Noegroho, Kasubdit Dokumentasi dan Publikasi Direktorat Purbakala sat ini, pihaknya tengah melakukan pendokumentasian atas abklats tersebut, dan akan segera dipublikasikan ke masyarakat. “Kita akan segera membuka diri untuk masyarakat,” kata Noegroho.
Tanpa bermaksud memberi penilaian pada kinerjanya, saat ini kita hanya bisa percaya pada ucapan Noegroho. Kita pun hanya bisa percaya bahwa abklats, dan benda-benda bersejarah lainnya, berada di tangan pemerintah yang bertanggung-jawab untuk memelihara dan mempublikasikannya entah kapan, tapi katanya, waktunya akan segera datang.
Di luar itu semua, kita pun semakin menyadari bahwa UU tentang Benda Cagar Budaya yang ada sekarang hanya memberikan peluang kepada pemerintah untuk menguasai benda-benda bersejarah. Masyarakat dalam hal ini hanya diberi peran sebagai pelengkap penderita (yang diancam dengan hukuman ini dan itu), tapi tidak cukup diberi hak untuk mendapat informasi, apalagi memanfaatkan, benda-benda cagar budaya yang ‘digudangkan’ tersebut.
Leave a Reply