Minggu, 17 Mei 2009
Telah berselang satu tahun Oey Hay Djoen meninggalkan kita. Satu dekade terakhir masa hidupnya dibaktikannya untuk kerja-kerja kemanusiaan, diantaranya melalui Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) saat terjadi Tragedi Mei 1998. Sebagian waktunya yang lain dimanfaatkan untuk menerjemahkan karya terbesar Karl Marx, *”Kapital”, serta berbagai buku kiri lainnya. Melalui karya-karya terjemahan itu, ia menyumbangkan landasan keilmuan bagi gerakan prodemokrasi masa kini.
Sebelum Peristiwa 1965 terjadi, Oey Hay Djoen merupakan anggota PKI sekaligus salah satu pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), salah satu lembaga yang pada Maret 1966 dilarang dan dibubarkan Mayjen Soeharto. Oey Hay Djoen dan istrinya membuka rumah mereka di Jl. Cidurian 19, Cikini, sebagai sekretariat pusat Lekra. Di rumah itulah Nyoto, Joebaar Ajoeb, Rivai Apin, Pramoedya Ananta Toer, Basuki Effendi, dan seniman-seniman Lekra lain berkumpul, mempresentasikan karya, dan mendiskusikan strategi kebudayaan mereka. Akan tetapi, Peristiwa 1965 menghentikan seluruh aktivitas Oey Hay Djoen. Selama 14 tahun, militer di bawah pimpinan Soeharto menahan dan membuangnya ke Pulau Buru. Seperti juga para eks-tapol Peristiwa 1965 lain, Oey Hay Djoen baru kembali bisa berkarya bagi publik setelah jatuhnya Soeharto.
Acaranya di adakan di Rumah Dolorosa Sinaga: Jl. Pinang Ranti No. 40 RT 015/RW 01, Pinang Ranti, Pondok Gede, Jakarta Timur (perempatan Garuda, seberang Tamini Square).
Acaranya antara lain;
Diskusi “Belajar dari Kehidupan Oey Hay Djoen”
Pembicara: Hilmar Farid (JKB/ISSI), Amarzan Loebis (Sastrawan,
eks-anggota Lekra), Moderator: Agung Ayu Ratih
Pembacaan puisi oleh Martin Aleyda dan lain-lain
Pameran sejumlah foto lama koleksi Ibu Oey Hay Djoen
Leave a Reply