Imajinasi merupakan hal yang ada di mana-mana dan unik. Ia dapat membuat adrenalin terpompa, mengganggu tidur, atau membuat seorang ‘patah’ kemudian berusaha melupakannya.
Apalagi saat imajinasi itu dikaitkan dengan kepentingan publik, manusia yang dititipkan suatu kuasa dianggap sebagai pihak yang berhak menentukan. Sulit untuk mengaplikasi apalagi mengembangkan suatu imajinasi ketika kekuasaan mendominasi. Apalagi bila kekuasaan dilihat sebagai ‘tongkat komando’ yang memperlihatkan posisinya sebagai ‘yang lebih tahu’ tentang kepentingan publik. Ia dianggap penentu kebijakan di atas kepentingan publiknya. Ruang diskusi cenderung menjadi tempat yang berjalur satu arah – arah yang ditentukan oleh sang penguasa.
Di sisi lain, publik sering dianggap – digeneralisir – sebagai pihak yang belum dewasa dan tidak mampu untuk diajak berdiskusi, menentukan arah. Akan merepotkan bila semua imajinasi yang muncul di benak publik perlu diakomodir. Tidak akan mungkin. Tingkat kedewasaan masing-masing orang itu berbeda.
Argumentasi bahwa kekuasaan, yang bersifat sementara itu, mengetahui hal apa yang paling baik bagi publik adalah seperti menyerahkan segala sesuatunya pada Tuhan. Imajinasi sang penguasa mendorongnya untuk dapat berkata dan melakukan apa saja, sedang publiknya diposisikan sebagai obyek. Kesetaraan yang ada di dalam situasi kuasa itu muncul, menguap dengan serta merta.
Kuncinya ada pada pengejawantahan dan komitmen pada arah bersama. Visi dan misi yang disetujui bersama ‘diturunkan’ menjadi tahapan kongkrit yang disetujui dan dilakukan sepenuh hati secara bersama-sama. Setiap imajinasi yang muncul ‘dibedah’ menjadi tindakan kongkrit dan dihadapkan pada titik tujuan yang sedang diarah bersama. Apakah tindakan itu, dengan juga memperhatikan konteks yang ada, menunjang, mendorong kinerja ke arah yang disetujui bersama? Bila ya, maka tindakan itu perlu diusahakan bersama, tanpa menyalahkan apa pun yang menjadi hasilnya kemudian. Bila tidak, tentu tindakan itu dikembalikan menjadi imajinasi perseorangan yang telah diuji, namun belum saatnya untuk dijalankan bersama.
Imajinasi pada masing-masing orang memang berbeda. Dan, sungguh, tidak ada imajinasi yang salah. Kesalahan dapat muncul ketika mendorong imajinasi itu menjadi itu menjadi sesuatu yang kongkrit. Apakah ia akan berguna bagi banyak manusia, atau hanya bagi diri yang dititipkan kuasa.
Leave a Reply