Di 2011 sebuah kelompok warga Jakarta mulai melakukan upaya revitalisasi atas keberadaan bemo (becak motor) sebagai moda transportasi kota Jakarta. Teknologi kendaraan bertenaga listrik diajukan oleh kelompok madani itu sebagai alternatif dari pelarangan bemo untuk beroperasi. Bemo bertenaga listrik (bemo gatrik)[1] merupakan solusi karena, bagi kelompok tersebut, peniadaan bemo akan ikut menekan daya imajinasi, inspirasi, dan inovasi warga Jakarta – bila tidak bisa disebut menghilangkan satu dari banyak akar kebudayaan kota.
Kelompok yang terdiri warga kota dari berbagai latar belakang ini beranggapan bahwa bemo perlu dilestarikan, karena memiliki sejarah yang panjang dan mengkonstruksi budaya kota Jakarta. Terlebih akibat dari kepunahannya akan lebih banyak memberi dampak buruk dari (sekedar) soal risiko peremajaan transportasi kota. Bagi sebagian warga kota Jakarta, bemo merupakan bagian dari kehidupan mereka. Bemo merupakan moda transportasi murah meriah yang dapat menelusuri jalan-jalan kecil di antara perumahan, sehingga memungkinkan warga kota untuk berpindah tempat dengan efisien di dalam jarak yang terlalu jauh untuk dilakukan dengan berjalan kaki, terlalu dekat bila menggunakan kendaraan bermotor lain. Bemo merupakan kenangan masa lalu yang tidak ingin dilupakan. Hal lain yang sangat disayangkan bila bemo dibuat punah adalah artikulasi yang dapat timbul kemudian adalah konotasi bahwa konsumsi benda-benda baru lebih diutamakan. Benda lama dianggap tidak berguna dan perlu diganti, tanpa memperhitungkan nilai kebudayaannya. Dalam hal ini, bemo sebagai obyek yang telah ikut mengonstruksi kebudayaan kota Jakarta dianggap tidak berguna.
Becak motor itu awalnya adalah kendaraan pengangkut barang produksi pabrik Daihatsu antara 1957-1963. Oleh Presiden Soekarno bemo dijadikan kendaraan pengangkut penumpang untuk menyambut perhelatan olahraga internasional di Jakarta, pada Ganefo di 1963. Di 1996 Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Soerjadi Soedirdja mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur yang intinya melarang beroperasinya bemo di ibukota. Bemo yang beroda tiga dan bertenaga mesin 2-langkah (2-tak, berbahan bakar bensin campur oli) itu dilarang beroperasi, harus diremajakan, atau lebih tepatnya digantikan, dengan kendaraan roda empat bermesin 4-langkah (4-tak, berbahan bakar bensin).
Sejak Surat Keputusan Gubernur itu berlaku, banyak bemo yang ditangkap untuk dihancurkan. Sebagai pengganti, pengemudi bemo diberi fasilitas kredit kendaraan Angkutan Pengganti Bemo (APB) yang beroda empat. Faktor ketidaksiapan birokrasi dan banyaknya oknum di lapangan mengakibatkan ratusan pengemudi bemo itu tidak dapat menggunakan fasilitas yang ditawarkan. Bemo-bemo yang terjaring diperjualbelikan secara tidak resmi, sehingga ratusan bemo yang terjaring itu kembali beroperasi, walau tanpa surat-surat resmi. Karena bemo menjadi sebuah kendaraan yang tidak legal, jumlah pemasok suku cadang untuk kendaraan beroda tiga itu makin lama makin berkurang, mengakibatkan suku cadang bemo pun sulit didapat. Para pengemudi bemo bergelut dalam situasi yang sulit. Selain mereka perlu bersiasat untuk menghadapi aparat hukum, mereka perlu memberdayakan kreativitas yang tinggi untuk membuat bemo-bemo mereka mampu untuk terus beroperasi demi dapat tetap menghasilkan uang untuk hidup mereka dan keluarga.
Untuk mengatasi masalah tersebut, di 2012 sebuah kelompok madani warga Jakarta mendorong program revitalisasi bemo. Selain melakukan pendekatan ke pihak pemerintah, kelompok ini berpatungan dan bergotong-royong menghadirkan berbagai teknologi yang mudah, murah, dan cocok untuk diterapkan pada bemo. Harapannya, teknologi yang tepat dapat mendorong perbaikan kehidupan para pengemudi bemo. Teknologi diharapkan dapat menghadirkan kesetaraan.
Berbagai eksperimen dilakukan yang utamanya adalah untuk menjawab permasalahan inti, yaitu agar bemo tidak mengakibatkan polusi suara dan udara. Mulai dari eksperimentasi menggunakan gas hidrogen yang disalurkan ke karburator untuk menekan gas buang, sampai akhirnya berhasil membangun sebuah bemo bertenaga listrik (bemo gatrik) berbadan serat kaca (fiberglass). Usaha patungan dan gotong-royong sebagian kecil warga Jakarta itu banyak membantu dalam proses eksperimentasi, sehingga bemo gatrik dapat meluncur ke Balai Kota untuk mengajukan sebuah alternatif transportasi kota yang bebas polusi udara dan suara di Februari 2013.
Teknologi motor listrik (Brushless Direct Curent motor) dan baterai jenis Solid Lead Acid (SLA) yang digunakan untuk menggerakkan purwarupa (prototype) bemo gatrik mampu mengangkut beban jarak pendek, sesuai dengan kebutuhan para pengemudi bemo. Teknologi motor tanpa sikat itu meminimalisir adanya kebutuhan perawatan berbiaya tinggi, seperti penggantian pelumas secara berkala. Baterai SLA merupakan wadah penyimpan energi listrik yang paling minimal untuk suatu aplikasi kendaraan listrik. Masa operasinya cenderung panjang, yaitu dapat mencapai dua tahun. Saat uji coba untuk menarik penumpang, bemo gatrik mampu menempuh sekurang-kurangnya jarak 15 kilometer dengan beban enam penumpang di belakang dan satu di depan, sebelum kemudian perlu dilakukan pengisian baterai (charging) selama enam jam. Kemampuan ini dianggap dapat menjawab kebutuhan para pengemudi bemo yang mengangkut penumpang empat sampai lima rit di pagi hari pukul 6-9 dan di sore hari pukul 16-19.
Teknologi yang diaplikasikan pada sebuah purwarupa bemo gatrik itu diharapkan dapat sedikit banyak meningkatkan posisi tawar para pengemudi bemo di mata birokrasi pemerintah, sehingga negosiasi dapat terjadi secara setara. Berbagai usaha dilakukan untuk menghadirkan teknologi yang dapat dikelola secara mandiri, tanpa tergantung pada produsen skala industri, namun ternyata tidak mendapat tanggapan yang setara dari pihak pemerintah. Para pengemudi bemo tetap dihadapkan pada pelarangan yang tercantum di dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta yang dikeluarkan pada 1996.
Imajinasi, inspirasi, dan inovasi melalui teknologi tenaga listrik pada bemo gatrik ternyata memperlihatkan tidak majunyanya cara pikir aparat negara. Hal ini dapat disimpulkan, bila tidak ingin berasumsi bahwa teknologi kendaraan listrik akan menggeser, mengecilkan, sehingga menurunkan pendapatan pabrik kendaraan bertenaga bahan bakar minyak – fosil. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Edward Tenner dalam bukunya Why Things Bite Back, bahwa pada setiap langkah maju di dunia teknologi, bersamanya akan membawa kemunduran satu langkah yang tidak terduga.[2] Dari studi kasus program revitalisasi bemo gatrik di Jakarta, kita dapat melihat bahwa kehadiran teknologi tidak selalu menghadirkan kesetaraan di tengah-tengah masyarakat. Untuk mencapai kesetaraan dalam berkehidupan perlu didampingi adanya pemikiran kritis dan niat progresif dari setiap pihak yang terlibat dalamnya.
[1] Program Revitalisasi ini dapat diketahui lebih lanjut melalui situs aikon.org.
[2] “A step forward in technology tends to bring with it an unexpected step backward. A step forward for some people frequently brings with it a step backward for others.” Dikutip dari tulisan Profesor Freeman Dyson berjudul Technology and Social Justice di dalam kuliah umum Nizer 1998. Freeman Dyson adalah akademisi di Institute for Advanced Study in Princeton, New Jersey. Di unduh dari tulisan situs Carnegie Council November 25, 1997. https://www.carnegiecouncil.org/publications/archive/nizer_lectures/004 pada 21 Juni 2017, pukul 09:35.
Leave a Reply