2000_Mei_Edisi 112_milikita:
aksara nusantara
Joni Faizal
Dalam sebuah naskah kuno disebutkan bahwa orang Bugis dan Makasar telah mengenal risalah ilmu senjata berat sejak abad 16 yang diterjemahkan dari bahasa Portugis dan Spanyol. Dalam risalah itu diungkapkan pula berbagai jenis senjata logam serta table jarak jangkauannya. Lalu apa yang membuat kita kagum pada naskah itu? Tidak lain adalah aksara lokal yang digunakan naskah-naskah tersebut.
Itu baru senjata. Ada pula karya sastra La Galigo yang ditulis dengan aksara lokal. La Galigo adalah sebuah karya epos terpenting dalam khasanah kesusastraan Nusantara, meminjam istilah Nirwan Ahmad Arsuka, sebagai karya sastra klasik terbesar dan terpanjang yang pernah diciptakan manusia.
Dari sini kita menyadari bahwa aksara nusantara memegang peranan penting sebagi penyampai informasi pada masyarakatnya yang tentu saja sangat terbatas. Mulai dari karya sastra, surat ancaman, hubungan internasional, dagang dan juga berbagai keperluan. Peranan aksara ini pula yang kemudian menjadi pelestari banyak inormasi pada jaman-jaman lampau seperti prasasti, hukum adat, dan informasi lain.
Menyebut aksara berarti menyebut beberapa diantaranya seperti aksara Hanacaraka (Jawa dan Bali) Ka-Ga-Nga (Kerinci, Lampung, Lembak, Pasemah, dan Serawai), Batak (Ankolo, Mandailing, Toba, Simalungun, Pakpak-darl, Karo), Makasar, Bugis dan Filipina (Bisaya,Tagalog, Tagbanuwa, Mangyan)(Kaozog:1999)
Meskipun dalam perspektif kesejarahannya tradisi aksara masih merupakan tabir gelap, nmun bila bisa dipastikan tradisi tulis yang pernah berkembang tersebut termasuk ke dalam kategori sangat kuno. Ini bisa dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti Kalimantan, Sumatera dan Jawa yang menunjukkan bahwa masyarakat di jaman itu telah melek huruf.
Sayangnya, beberapa aksara itu semakin tidak dikenal lagi oleh masyrakatnya bahkan dapat dianggap punah karena kurangnya pengajaran tentang hal itu. Seperti aksara Ka-Ga-Na (atau sering disebut aksara rencong) di daerah-daerah Sumatera, dapat dikatakan tidak lagi dipelajari. Padahal, banyak orang-orang tua yang lahir sebelum tahun 1950-an masih mengenal huruf tersebut meskipun tidak mengenal huruf latin. Berbeda dengan aksara Hanacaraka yang sekarang masih menjadi mata pelajaran sekolah di beberapa daerah di Jawa dan Bali, aksara di luar Hanacaraka semakin tidak dipertimbangkan.
Dalam laporan Pemetaan Bahasa Nusantara, sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa Nusantara bisa dihitung dengan jari. Dan itu pun tidak termasuk mengajarkan aksaranya. Padahal, aksara Nusantara itu terbilang sederhana.
“Di balik kesederhanaan itu, ironisnya aksara Nusantara banyak yang tidak dipelajari lagi,” kata Kozok, ahli penaskahan Universitas Aucland, Selandia Baru dalam suatu kesempatan diskusi Pernaskahan Nusantara. Menurut Kozok pula, dibanding aksara-aksara tua India, aksara kuno Nusantara jauh lebih sederhana, terutama yang berada di luar Jawa dan Bali. Kalau tulisan India terdapat 40 aksara serta belasan tanpa diakritik (penanda adanya perbedaan), tulisan Jawa dan Bali hanya memiliki 20 dan 10 diakritik. Begitupun tulisan Lampung, Makasar yang tidak sampai 20 aksara, atau Tagalog yang hanya 15 aksara dan 2 diakritik.
Konon, di era komputerisasi sekarang, teknologi sudah dapat menyelamatkan aksara-aksara dengan software khusus yang bisa menterjemahkannnya. Berarti tidak ada alasan lagi bagi kita untuk mengabaikan kekayaan dan kearifan masa lalu sebagai pijakan di masa kini.
Leave a Reply