Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

2002_Februari_Edisi 131_Bahas:
Adu Cepat, Jiwa Lukisan pun Mampat
Ade Tanesia

“Hanya dengan kelimpahan waktu, orang dapat memelihara jiwanya. Dan orang yang hidupnya miskin akan waktu, sama saja dengan orang yang membunuh jiwanya sendiri,”ungkap perupa Heri Dono dalam majalah Basis. Hanya seorang seniman yang mampu melahirkan perenungan sedalam ini. Dikatakan sejati, karena kodrat kesenian menuntut senimannya untuk selalu memerdekakan dirinya dari apa pun, termasuk waktu, demi kreativitas. Lalu bagaimana ketika seniman kehilangan otoritasnya terhadap waktu akibat tuntutan yang berasal dari luar dirinya?

Sidrom inilah yang diidap oleh banyak pelukis di Idonesia saat ini. Praktek perdagangan karya seni lukis yang begitu marak tak hanya melimpahkan kekayaan bagi senimannya, tapi juga mampu mempersingkat sebuah proses penciptaan. Bukan isapan jempol jika kanvas kosong seniman pun sudah dibeli oleh para kolektor. Bukan pula cerita sulapan jika seorang seniman mambuat karya lukis berukuran besar hanya dalam 1-2 hari. Pernah pula terjadi, sebuah pameran lukisan yang beberapa karyanya masih basah. Kalau memang momen kesenian terletak pada proses penciptaannya seperti yang diutarakan perupa Ugo Untoro, lalu logika semacam apa yang mendasari pembuatan karya seni dalam hitungan jam serta memunculkan istilah “pelukis kilat”?

Mungkin, logika pasar lah yang mengalasinya. Dengan modus pembelian karya secara borongan atau modus kontrak yang mengharuskan pelukis menyetorkan karya setiap bulannya, maka kecepatan berkarya jadi tak terhindarkan sekalipun didasari bahwa genjotan permintaan pasar mampu memandulkan karya. Artinya, sungguh mungkin terjadi pengulangan visual sehingga tak ada pembeda lagi antara karya satu dengan karya lainnya. Proses pembuatan karya tak ubahnya industry dengan target-target produksinya. Tidak heran dalam dunia sni lukis telah muncul pula istilah ‘over production’.

Dalam dunia perdagangan seni lukis di Indonesia, dewi keberuntungan lah yang berbicara. Di Jogjakarta saat ini, ada pelukis yang diantri oleh kolektor hingga ia merasa perlu untuk membuat sintem antri nomor; kolektor A dapat nomor 1, kolektor B nomor 2 dan seterusnya. Di masa emas tiba. Kejenuhan pasar bisa melorotkan nilai jual harga lukisan seseorang. Singkatnya, ketika pasar mungkin hanya butuh 50 karya lukisan, tetapi seniman malah menggelontorkan hingga 100 karya. Pada saat ‘over production’ ini terjadi, nasib lukisannya tidak jauh dari nasib harga beras ketika musim panen.

Banyak seniman yang frustasi dengan modus perdagangan ini. Seorang peluki abstrak dengan karya senilai puluhan juta rupiah, bisa saja tiba-tiba dijatuhkan oleh kolektor dengan cara menjual karyanya seharga jutaan rupiah saja. Akibatnya, seluruh kolektor yang memiliki karya seniman tersebut cepat-cepat menjualnya dengan harga murah agar modal cepat kembali. Ada pula kisah tragis pelukis yang ditawari kemewahan benda seorang pemilik moal. Syaratnya ia harus membayar karyanya dalam jumlah tertentu yang nantinya akan dipasarkan dengan harga yang ditentukan pemilik modal tersebut. Artinya, pelukis itu tidak ubah dari petani yang terjerat beba rentenir. San seperti cerita para korban rentenir, pelukis muda berbakat ini pun harus mengorbankan “jiwa” dari karya-karyanya. Tidak hanya itu, ketika lukisannya dianggap tidak menguntungkan, ia masih harus membayar kembali smeua kemewahan yang pernah ia dapatkan.

Agaknya para pelukis perlu melonggarkan waktunya kembali. Memberikan kesempatan pada rasa untuk melakukan proses yang akan mendasari sebuah karya. Membuat jeda, mungkin bisa jadi cara yang ditempuh untuk mencari jiwa bagi sebuah karya. Karena, apa artinya cepat (cepat berkarya, cepat terkena, cepat kaya), bila kemudian hanya akan menghasilkan jiwa yang mampat.

Sumber; wawancara Jumaldi Alfi, Agung-Studio Hanafi, Bella-Galeri Embun; Majalah Basis.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *