2001_Februari_Edisi 121_lingkungan:
abrasi pantai: mencegahnya atau kita tenggelam!
Ade Tanesia
Kalau tak hendak diterpa ombak, jagan berumah di tepi pantai. Begitu kiasan Melayu melukiskan orang-orang yang seharusnya menghadapi resiko. Tapi sekarang bukan masalah berani atau tidak, karena kalimat itu kini memiliki arti sebenarnya. Terutama bagi orang-orang di pesisir pantai. Ombak yang menjadi bagian hidup, kini menggusur apa saja yang ada di depannya, sekolah , musholla, rumah, warung, juga tambak, tempat idaman rejeki mereka raih. Kenyataannya, diperkirakan 60 persen penduduk di Indonesia hidup dan bermukim di daerah pantai, atau 64.439 desa di Indonesia, terdapat 4.735 desa yang dikategorikan sebagai desa pantai. Bahkan masyarakat yang bermukim di wilayah kota pantai mencapai 100 juta jiwa.
Ancaman air laut itu sudah seringkali kita dengar. Di labuhan Maringgai, Lampung Timur misalnya, tercatat 19,5 meter per tahun daratan ditelan oleh laut. Di Kelurahan Ulakkarang, Padang, Sumatera Barat, baru-baru ini 254 jiwa kehilangan tempat berteduh karena 50 meter pantainya terkikis. Juga di sepanjang pesisir Mana, Bengkulu. Dan tak ketinggalan tempat-tempat lain seperti sepanjang Pantura, di Jawa dan Pesisir lain wilayah Indonesia. Tidak diketahui secara pasti berapa panjang pantai Indonesia dalam dasawarsa terakhir ini yang tenggelam, namun dari berkurangnya hutan bakau yang selama ini melindungi pantai dari amukan ombak, dapat diindikasikan bahwa pantai-pantai tersebut dalam kondisi terancam.
Abrasi pantai merupakan gejala alam biasa. Namun dengan campur tangan manusia yang tidak arif terhadap lingkungannya, mengakibatkan abrasi jauh lebih cepat dan akut. Salah satu penyebab abrasi pantai yang dominan adalah terus dibukanya lahan hutan bakau (mangrove) tanpa mempedulikan efeknya terhadap kerusakan lingkungan. Tambak-tambak rakyat maupun tambak industri, juga pemukiman penduduk, telah menjadikan pantai mudah sekali tergerus dan kemudian menjadi perairan. Kecuali itu, tingginya tingkat reklamasi, atau penambahan daratan untuk kebutuhan pemukiman, juga menjadikan gempuran ombak berpindah ke tempat lain. Contoh ini dapat dilihat di Jalan Tol Sedijatmo yang menghubungkan Bandara Soekarno-Hatta dengan Jakarta. Hampir setiap tahun di musim hujan air selalu menggenangi badan jalan karena reklamasi rawa di Pantai Indah Kapuk menjadikan kawasan ini lebih rendah.
Selain reklamasi, rusaknya terumbu karang juga berpengaruh pada abrasi pantai. Terumbu karang yang secara alami dapat menjadi penghancur gelombang, karena kini tidak ada lagi karangnya akhirnya tidak memainkan fungsi sebenarnya. Kasus Pesisir Paojepee, Sulawesi Selatan misalnya, sejak rusaknya terumbu karang empat tahun sebelumnya, yang kemudian memperparah rusaknya hutan mangrove di sekitarnya, sampai Maret 1999 lalu, telah memakan sekitar 10 hektar lahan payau di sepanjang satu kilometer garis pantai. Ironisnya, pertambangan karang-karang ini diperparah oleh ijin pemerintah yang digunakan sebagai bahan utama untuk membangun dermaga. Hal yang sama terjadi di Pantai Tanjung Kait, Tangerang, di mana pasir-pasir di sana di tambang untuk dijual.
Terumbu karang di Indonesia yang belakangan ini banyak menadapat sorotan, terutama di wilayah dekat pesisir, pada umumnya telah rusak berat bahkan dapat dikatakan sudah tidak ada. Salah satu penyebabnya adalah praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, industri pariwisata, industri keramik, serta ketidaktahuan masyarakat sekitar tentang manfaat terumbu karang tersebut. Akibatnya abrasi tidak dapat dihindari dan ekologi pantai menjadi terpuruk.
Pencegahan di banyak pantai-pantai yang telah terabrasi, penangulangan selama ini banyak dilakukan melalui cara-cara non hayati, seperti membuat tanggul-tanggul atau membuat peredam gelombang (water breakable) seperti bentuk T atau tipe Jetty. Yang terbaru, diperkenalkan oleh BBPT baru-baru ini yaitu membuat karang buatan sebagai peredam gelombang sebagaimana yang telah dilakukan oleh Selandia Baru (Kompas, 5 April 1999). Namun usaha semacam ini membutuhkan biaya yang terbilang besar di tengah-tengah negara terus dilanda krisis.
Pencegahan secara hayati tidak juga dapat dikatakan murah. Banyak proyek-proyek pemerintah dan LSM yang dibantu oleh lembaga-lembaga internasional untuk mencegah abrasi dihadang oleh lahan-lahan tambak rakyat yang tidak ingin diganggu. Padahal, jika mereka sadar, upaya penghijauan kembali pantai, adalah untuk masa depan mereka sendiri. Apalagi dalam prakteknya penanaman mangrove membutuhkan lahan yang cukup jauh dari pantai agar mampu menahan ombak. Dan di lain kasus, banyak pula mangrove yang sudah ditanam tidak terurus dan menjadikan pekerjaan mubazir.
Upaya membekali pengetahuan masyarakat di sekitar pesisir tentang pentingnya menjaga lingkungan pantai menjadi sangat penting. Jika kesadaran ini telah dimiliki oleh masing-masing masyarakat, paling tidak upaya pencegahan sudah sebagian berjalan. Dengan demikian, tidak akan ada lagi yang takut berumah di pantai. Namun kesadaran ini akan sia-sia tanpa usaha kita bersama untuk menjaganya.
Leave a Reply