1999_Desember_Edisi 107_konservasi:
Abklats makam tanah rencong
Yunus Satrio
Makam dapat menjadi cermin sekaligus mengandung cerita mengenai penghuninya. Walaupun yang mebuat makam adalah ahli waris, atau orang-orang yang dekat dari sang mendiang, namun melaluinya dapat terlihat bagaimana orang-ornag yang hidup memuliakan si mati.
Aceh, adalah salah satu bukti masyarakat yang begitu memuliakan orang-orang yang mati. Bukti ini terlihat dari abklats-terahan dari kertas yang dicetak di atas prasasti atau makam dalam bentuk relief—makam-makam orang Aceh masa lalu yang begitu Indian dan menakjuban. Meskipun makam-makam itu kini banyak yang hilang atau rusak, dengan abklats kita dapat melihat bagaimana “copy” makam-makam orang Aceh masa lalu. Karena abklats dicetak diatas makam-makam asli lengkap dengan lekuk-lekuk kaligrafi dan relief ukiran-ukiran makam.
“Ada ribuan abklats makam-makam di Aceh yang tersimpan di Ditllabijarah. Kini abklats itu terancam rusak dan tidak terawatt,” papar Yunus Satrio, kasubdit Dokumentasi dan Publikasi, Direktorat Pembinaan dan Perlindungan Purbakala, Depdikbud.
Menurut Yunus, abklats itu merupakan proyek Belanda di tahun 1840-an. Uniknya, tiap-tiap abklat dilengkapi foto makam-makam yang dibuat abklatsnya. Meskipun abklats itu jumlahnya ribuan dan dibuat berlapis-lapis hingga 19 lapis, hingga kini belum ada penelitian tentang kegunaan abklats tersebut. Dugaann sementara adalah bahwa Aceh tidak memiliki candi-candi seperti di Jawa, maka Belanda begitu tertarik untuk mendata makam-makam Aceh yang dinilai berkarya seni tinggi dengan membuatkan abklats disertai foto-fotonya.
Konon, makam-makam ke-17 tersebut dipesan orang Aceh dari Cambay, daerah Gujarat, India. Dari jumlahnya yang ribuan, dapat ditarik kesimpulan bahwa nisan-nisan berukir kaligrafi Arab itu merupakan barang dagangan. “Musuh utama abklats ini adalah ngengat,” kata Yunus. “ Beruntung, abklats ini tidak dibuat menggunakan lem melainkan hanya dengan kertas, singkong yang sudah punya daya rekat sendiri. Jadi, kemampuan bertahan dari ngengat lebih terjamin.” Usaha yang kini sedang dilakukan Ditlinbijarah yaitu mendata ulang abklats dan disesuaikan kembali dengan foto-fotonya. Karena jumlahnya yang banyak dan beberapa keterangan sudah berubah, seperti nama daerah asal abklats, maka memerlukan waktu panjang unutk mengklarifikasikannya kembali. Halangan lain adalah makam-makam aslinya sudah banyak yang hilang dan di pakai ulang dengan menggantik nama penghuni makam yang baru.
Terlepas dari nilai sejarah abklats itu sendiri, dapatlah kita renungkan, bahwa untuk sebuah makam saja orang Aceh begitu memuliakannya dengan meletakkannya pada tempat terhormat. Bagaimana dengan makam massal yang banyak ditemukan setelah diberlakukannya Daerah Operasi Militer di Aceh. Padahal, Aceh adalah jiwa yang melahirkan kedaulatan untuk republic ini di masa lalu dengan darah dan air mata. Salahkah jika rakyat Aceh kini memilih merdeka?
Leave a Reply