Ditulis oleh: B. Dharmawan Handonowarih
Untuk beberapa jam saja, kebiasaan jajan penganan dan minuman kemasan plastik itu berhenti dan berganti dengan kegiatan bermain dan belajar.
Ketika tempat itu dibuka, yang datang dan bertahan 21 anak. Ada 4-5 anak lain, yang usianya lebih besar dari anak-anak prasekolah dan SD itu, tapi mereka cuma melongok di pintu. Atau membantu mengangkut kursi dari “rumah depan” yang jaraknya sekitar 10 meter. Sebagai anak SMP, mungkin agak sungkan bercampur bersama anak yang lebih kecil.
Mereka dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama yang berusia 7 tahun ke atas boleh naik dan membaca di lantai dua. Kelompok kedua, berusia pra sekolah, belajar di bawah. Masing-masing ada ketua kelasnya, yang kebetulan kakak beradik juga, dan tinggal cuma tiga langkah dari rumah ini.
Kipas angin dengan baling-baling kayu cukup menyejukkan rumah yang lantai bawahnya ditutup seluruhnya dengan tegel itu. Anak-anak lebih suka tiduran atau menggambar di situ. Memang adem. Bersih. Terang. Tapi yang paling mereka tunggu adalah bermain “berantem-beranteman” yang seluruhnya hanya diikuti anak laki-laki.
Tangga ke ruang atas, yang lantainya papan kayu jati, adalah godaan terbesar anak-anak untuk bertahan bermain di lantai bawah: menggambar, berhitung, menyanyi di anak tangga, atau main “ular naga” dan petak umpet. Memanfaatkan ruang gudang bawah tangga, kolong dapur, atau kamar mandi. “Saya jangan dikunciin, ya.”
Tampaknya semua ingin mencoba naik dan turun tangga. Lalu bergelimpangan di lantai. Menimbulkan suara gaduh, seperti pemain drama di pentas papan kayu.
Di lantai atas, mereka bisa melihat sekeliling, dari ketinggian. Genting rumah mereka sendiri. Termasuk sebuah sampah boneka yang dibuang. Atau maksudnya dijemur? Dan kelupaan diambil bertahun-tahun lamanya. Bentuknya menjadi gepeng. Mungkin menjadi bahan tertawaan anak-anak itu.
“Saya boleh naik, ya?”
Seorang anak perempuan yang kira-kira berusia 4 tahun, mengikuti kakaknya ikutan naik tangga. Berhenti di bordes, anak ini menangis keras. Semua terdiam. Tidak ada yang usil dan melukai. Dan tidak ada yang tahu penyebabnya. Ia terus menangis dan menolak diajak naik atau turun.
Ketua kelas datang menjemput; menggendongnya. Dengan agak memaksa. Turun.
“Dia takut karena melihat pemandangan di bawah.”
Menggambar adalah tugas yang paling disukai. Kertas dan krayon disediakan. Tapi hampir seluruhnya membuat hal yang sama: dua buah gunung, dengan sebuah pamatang di tengah. Lalu di bagian atas ada bulatan matahari. Begitu seterusnya, sampai hari ketiga.
Itu yang membuat adanya “larangan” di sesi menggambar pada hari selanjutnya untuk membuat gambar serupa. Seorang anak, yang berambut keriting, dengan badan gemuk, dan belum sekolah, membuat gambar tiga bulatan. Seluruhnya diwarnai hitam. Besar-besar.
“Gambar apa ini, adik?”
Dia tidak menjawab, selain terus melotot.
Temannya, dengan penuh semangat meminta kertas dan krayon. Lalu mengambil kursi dan siap menggambar. Ia memulai dengan teriakan, “Abang Ari….! Gambarin!”. Itu adalah nama kakaknya, yang duduk di kelas 1 SMP, dan menjadi ketua kelas. Si kecil dipangku kakaknya, dan tangannya dipandu tangan kakaknya membuat gambar yang itu tadi: gunung dengan pematang.
Meskipun resminya rumah baca ini dibuka setiap pukul 08.00 di akhir pekan, kenyataannya setengah jam sebelumnya, anak-anak itu sudah berkerumun di depan pintu.
“Seperti antrean di puskemas,” kata bu Mar.
Bu Mar adalah ibu dari empat anak, yang semuanya ikut di kelas ini. Pagi itu, ia membantu menyiapkan kacang ijo dalam panci burik besar. Kedatangan kacang ijo rebus, yang diberi gula merah, santan, dan ikatan daun pandan itu, akan membuyarkan semua yang sedang belajar. Sama reaksinya dengan kedatangan dua buah baskom berisi ubi kukus. Lumayan.
Menjelang pukul 12, semua gelas yang dibawa anak-anak diisi kacang ijo, dengan celoteh yang sama seperti hari sebelumnya: “Saya minta yang banyak,” atau “Tambahin saya, dong!”, justru sebelum pembagian cemilan itu berlangsung.
Selama kelas berlangsung, ada saja warna tangis. Bisa karena bisul yang tertendang teman bermain. Atau gigi berlubang yang terkena gula-gula. Tapi semua segera selesai dengan damai. Dengan ubi kukus atau kacang ijo rebus.
Mas Soleh menjadi relawan pertama yang merelakan diri setiap Rabu malam ikut mengajar. Membantu anak-anak mengerjakan PR mereka. Yang tidak punya PR, atau yang belum sekolah, boleh nimbrung juga. Tapi karena ini malam hari, umumnya anak-anak itu akan lebih mudah pamit. “Aku pulang yah. Udah ngantuk.”
Yang bertahan lalu tinggal 3-4 orang. Mereka ini latihan berhitung sederhana di selembar kertas. Salah seorang di antara mereka adalah bocah 8 tahun, yang tangan kanannya agak bengkok karena patah akibat terjatuh dari sepeda. Malam itu ia tidak membawa buku dan pensil, sebagaimana teman-temannya yang lain.
“Kelas berapa kamu?”
“Kelas dua.”
“Bukunya mana?”
“Rumah saya jauh.”
Dia sudah lama tidak sekolah.
Malam itu, ia belajar tambah, kurang, dan perkalian. Seluruhnya dikerjakan dengan benar. Tapi pada pelajaran pembagian, ia bingung. Mungkin mau pulang. Berapa 10 dibagi 2? Kedua jari tangan dibentangkan di atas meja. Ia mencoba menghitung. “Delapan.”
Dicarilah akal. Sapu lidi di emperan rumah diambil sebatang. Lalu di potong sama panjang. Sepuluh batang digelar di meja. Lalu dibagi per dua buah. Kau hitung sekarang berapa 10 dibagi 2? “Lima!”
Malam itu, seperti juga pagi yang kesekian, untuk sementara anak-anak itu melupakan kebiasaannya jajan di warung. Penganan kemasan plastik murah meriah yang sarat dengan MSG dan minuman es warna-warni untuk beberapa jam berganti dengan bermain dan belajar bersama..
Leave a Reply