2002_Maret_Edisi 132_Bahas
Air Mancur, membuat ruang lebih berjiwa
Ade Tanesia
Ingatkah anda pada air mancur berjoget di bilangan Monas? Ingatkah bahwa di situ pula Anda bias berteu dengan warga kota lainnya, saling menyapa atau sekedar melempar senyum. Kini air mancur berjoget telah tiada. Monas pun kehilangan salah satu daya tariknya.
Air mancur di tengah kota, memang berdaya untuk melahirkan rasa. Mungkin karena itu pula, ada “kebutuhan besar” untuk merenovasi air mancurdi Bundaran Hotel Indonesia, yang rencananya akan mulai dilaksanakan tahun ini. Kelak, menurut perancangnya, Prof.Dr. Ir Danis Worro, Patung Selamat Datang yang tingginya 20 meter itu akan dikelilingi oleh barisan air mancur dalam konfigurasi warna merah dan putih (dihasilkan dari 96 nosel. Tidak hanya itu, ahli perkotaan dariIITB ini pun kan menambah sensasi karyanya dengan gelombang ombak lautan (dihasilkan dari 210 nosel) dan lesatan komet (dihasilkan sebagai sentuhan akhir, akan dibuat juga program konfigurasi gerak air mancur yang disesuaikan dengan music pengiringnya.
Sepertinya, Jakarta akan mempunyai lagi air mancur berjoget. Untuk itu, tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan (konon mencapai Rp. 14 milyar!) Karenanya, sebuah tantangan besar bagi seorang Danis Woro untuk membuktikan bahwa air mancurnya memang layak semahal itu, misalnya karena memang mampu membuat warga untuk saling melempar senyum damai diantara belantaran beton, kemacetan dan kebisingan kawasan Thmarin-Sudirman. Bila tidak, karya itu tidak berbeda dengan kosmetik berlebihan bagi sebuah kota yang tengah compang-camping.
Air mancur di tengah kota, memang punyak banyak cara untuk melahirkan rasa. Seperti halnya Trevi Fountain karya Nicola Salvi dan G. Panini di Roma. Air mancur (atau lebih tepat disebut pancuran air) yang diselesaikan tahun 1762 ini, masih saja berhasil mengundang decak kagum bagi siapa saja yang memandangnya. Sebagai adi karya, ia berhasil menerbitkan rasa hormat, sehingga terasa ad jarak yang diciptakannya bagi para penikmat.
Ini berbeda dengan konsep yang diperkenalkan Lawrence Halprin ketika membangun Lovejoy Plaza di Portland, Oregon pada tahun 1966. Ia membuat sebuah air mancur mampu berinteraksi dengan manusia sekitarnya. Halprin membiarkan air mengalir melewati tangga-tangga hingga menghasilkan ritme bunyi air yang berbeda-beda. Ia pun memberi kesempatan bagi anak-anak untuk bermain air, bahkan berenang, di kolam besarnya.
Salah satu arsitek Indonesia yang menggunakan konsep Halprin adalah Ir. Didik Kristiadi MLA, MUD, yang mengibaratkan air mancur sebagai panggung tempat berlangsungnya drama yang diperankan oleh air dan orang-orang yang melewatinya. Dengan prinsi inilah Kristiadi mendesain air mancur di Kampus Universitas Muhamadiyah Yogyakarta (UMY).
“Airnya dimuncratkan dari baawah dan percikannya mengenai mahasiswa. Sensasi yang akan terjadi misalnya ketika ada mahasiswa yang terkena airnya akan ditertawakan teman-temannya. Inilah estetika ekologi yang saya anut,” ujar Kristiadi. Menurutnya, konsep tersebut tidaklah baru. Itu sama seperti indahnya pemandangan saat anak-anak kecil bermain di pancuran air desanya.
Konsep yang sama pernah diterapkan pula saat mengikuti sayembara desain landmark kawasan Ancol, di mana rancangan Kristiadi bersama Anusapati, pematung dai ISI, dan Ir. Adi Utomo Hatmoko ini keluar sebagai pemenang favorit. Mereka merancang air mancur dengan tabir kaca serta memungkinkan pengunjung berjalan di atas ramp spiral menuju mercu suar.
“Objek yang dipajang bukan objek mati, pengunjung bias naik menuju mercu suar. Mungki kalau kepanasan mereka pakai paying dan ini akan menghasilkan panorama tersendiri. Inilah estetika yang bias mendekatkan karya seni dan masyarakat. Air mancur adalah karya dinamis, bukan statis, “lanjut pengajar di Jurusan Arsitektur UGM ini.
Air mancur di tengah kota, nyatanya mampu memelihara rasa. Gemericiknya melemahkan kebisingan. Cahaya matahari yang dipantulkan memendarkan energi alam. Cipratan airnya melahirkan kegembiraan. Sungguh, keberadaannya membuat ruang lebih berjiwa.
Leave a Reply