Angin mempertemukanku dengan pak Joni, pengemudi Beos, Jakarta. Darinya aku dikenalkan dengan pak Ujang yang dibilang ‘penguasa’ bemo di kawasan Utara Jakarta itu. Ia bergelut dipermasalahan becak-motor meneruskan usaha ayahnya, pak Boho.
Pak Ujang anggap bemo yang masih bisa beroperasi saat ini di Jakarta adalah ‘hasil’ demo para pengemudi bemo di 2010. Waktu itu, beberapa bemo ‘tergaruk’ aparat, yang mengantungi Peraturan Daerah yang melarang bemo operasi di Jakarta. Hal ini memicu demo besar yang dilakukan oleh banyak pengemudi bemo dari berbagai wilayah kota. Mereka mendatangi Dinas Perhubungan untuk meminta bemo yang disita untuk dikembalikan, serta menuntut adanya ‘solusi’ bagi para pengemudi bemo di kemudian hari. Tidak berhasil menemui yang berwenang di kantor dinas itu, pendemo mendatangi balai kota, berharap dapat menemui Gubernur Fauzi Bowo. Mendapat dukungan dari Ibu Wanda Hamidah, anggota DPRD DKI Jakarta, hari itu diakhiri dengan adanya ‘kesepakatan abu-abu’. Pengemudi bemo ‘diperbolehkan’ beroperasi kembali, walau Peraturan Daerah tidak dicabut.
Menurut pak Ujang, nasib pengemudi bemo kini adalah ‘kebaikan’ yang diberikan oleh pemerintah kota. Entah sampai kapan.
Saat ini ada 45-an buah bemo yang ‘tercatat’ di kawasan Beos, Jakarta Kota. Konon 75% di antaranya aktif beroperasi. Setiap harinya, seorang pengemudi bemo perlu menyetor ke pemilik bemo sebesar Rp 75 – Rp 85 ribu. Untuk bensin dan minyak pelumas, kurang lebih menghabiskan Rp 80ribu. Di luar Rp 160 ribuan itu pengemudi bemo membawa pulang uang sebesar Rp 50 ribuan perhari. Menurutnya, jumlah ini adalah yang terbesar bila dibandingkan dengan penghasilan pengemudi bemo yang beroperasi di kawasan lain, seperti Manggarai, Karet, Bendungan Hilir, maupun Grogol. Besarnya pendapatan ini dikarenakan banyaknya penumpang yang perlu diangkut, dan juga karena adanya ‘penjagaan’ dan negosiasi dengan angkutan kota lain, yang memiliki trayek kurang lebih sama.
Melihat bemo yang parkir berjejer di samping Stasiun Jakarta Kota siang itu, terlihat para pengemudi memelihara kendaraannya dengan baik. Walau badan bemo ‘cecel-bocel’ dengan las sembarang dan dempul tebal, namun dari kejauhan, mereka tampil meriah dan bersih. Bagian belakang, tempat penumpang duduk berhadapan, dibuat lebih panjang dari aslinya yang 125 sentimeter, menjadi kurang lebih 175 sentimeter. Pemanjangan badan bemo ini untuk mengakomodir lebih banyaknya penumpang yang dapat diangkut dalam sekali jalan.
Sepertinya akan seru dan berguna bila bemo-bemo ini direvitalisasi, dijadikan ikon kota, seperti Jeepney di Filipina atau Tuktuk di Thailand. Dengan demikian, kemungkinan adanya kehidupan yang lebih baik akan muncul.
Angin.. angin.. berhembuslah ke arah perbaikan nasib para pengemudi bemo.
Leave a Reply