1999_Juni_Edisi 101_selip:
Wisuda
Seringkali kita mendengar ungkapan “belajar tak pernah mengenal batas waktu.” Tak ada yang salah dengan ungkapan ini, namun toh nyatanya manusia membutuhkan jenjang dan tahapan waktu, untuk menandai seberapa besar kapasitas dirinya dalam bidang tertentu. Manusia pula yang membutuhkan pengesahan terhadap kapasitas tersebut, sehingga waktu belajar pun berhenti sejenak untuk melakukan upacara penobatan, yang dalam bahasa Indonesia disebut Wisuda.
Begitu pentingnya nilai upacara ini, sehingga selalu saja diwarnai dengan kerumitan tata cara, kostum, tradisi unik. Di Indonesia, wisuda dipercaya bisa mengangkat derajat orang tua dan keluarga. Bisa pula menjadi sangat berarti bagi pihak yang melihatnya sebagai peluang bisnis. Namun wisuda pun bisa tak berarti apa-apa jika ternyata tak mampu memerdekakan seseorang untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Toga
Seperangkat topi dan jubah wisuda yang seringkali disebut Toga, ternyata berasal dari jenis pakaian di jaman romawi kuno. Di masanya, kostum toga juga menjadi lambang prestisius, sehingga lahir ungkapan “Vestis Virum Facit”, artinya pakaian yang menentukan status seseorang.
Toga adalah jubah setengah bundar yang lipatannya menjuntai hingga ke lantai. Kostum ini telah menjadi simbol kewarga negaraan dari kerajaan romawi kuno. Hak pemakaiannya seringkali ditebus lewat pembayaran, misalnya seorang budak bisa melepaskan status budaknya untuk menjadi warga negara lewat sejumlah uang.
Sesuai dengan nilai prestisiusnya, mengenakan toga membutuhkan waktu dan tata cara yang rumit. Biasanya orang romawi kaya memiliki seorang budak, disebut “vestiplicus,” yang tugasnya hanya membantu dirinya memakai toga.
Di jaman keemasan Romawi, kostum toga semakin rumit dengan adanya sinus dan umbo. Sinus digunakan sebagai saku untuk meletakkan benda-benda kecil, sementara umbo merupakan kerudung yang menjadi satu dengan jubah, biasanya digunakan pada upacara keagamaan. Orang romawi yang mengenakan umbo disebut “capite velato” atau kepala berkerudung.
Dalam perkembangannya toga memiliki beberapa tipe yang mengacu pada status sosial tertentu. Toga yang paling sederhana adalah toga virilis atau toga pura, yang hanya terbuat dari kain wol putih. Seorang kandidat untuk sebuah kantor kemasyarakatan harus mengenakan toga berwarna putih terang, yang disebut sebagai toga candida, agar bisa tampil berbeda di tengah orang banyak. Seseorang yang telah diterima dalam kantor tersebut, langsung mengenakan toga praetexta, yang memiliki ornament garis ungu. Pendeta mengenakan toga trabea, sedang toga purpurea dipakai oleh Raja. Toga pulla berwarna hitam hanya dipakai selama masa krisis atau dukacita kematian. Hanya masyarakat kelas bawah yang mengenakan toga pulla, sementara kelas atas memakai toga warna warni dengan bahan mewah seperti silk.
Leave a Reply