Hari ini saya mencoba kemungkinan-kemungkinan memberdayakan teknologi Web 3.0 (rantai-blok – blockchain) untuk mendorong kesejahteraan seniman Indonesia. Ukuran ‘kesejahteraan’ yang ingin dicapai adalah terdistribusinya ‘Upah Minimum Regional’ di Indonesia yang berkelanjutan. Nilai upah minimum ini mungkin dapat ‘disejajarkan’ dengan nilai yang diacu oleh konsep Pendapatan Dasar Universal (PDU, Universal Basic Income – UBI) – yang konon adalah nilai yang ditentukan pemerintah suatu negara untuk dijadikan ‘garis batas’ kemiskinan. Dengan terjaminnya pendapatan untuk hidup layak, maka kesempatan manusia untuk berkembang, berkehidupan lebih baik, akan dapat diraih. Terdapatnya PDU bagi seniman (dan juga publik) dipercaya akan memberi stimulus bagi hadirnya imajinasi yang menjadi syarat bagi perkembangan pribadi manusia.
Dari ilustrasi di atas, dapat dilihat bagaimana sebuah sistem swatantra (otomatis) menfasilitasi munculnya berbagai kesepakatan bersama melalui sebuah DAO.
Pertanyaan yang ingin dijawab adalah: Bagaimana teknologi dapat menjadi papan loncat, agar kesejahteraan seniman Indonesia dapat diraih secara bermartabat.
Sebelum menjawab hal ini, perlu ditemukan dahulu, sistem pengadopsian teknologi yang diajukan. Proses adopsi teknologi merupakan titik yang krusial, sama besar atau lebih berat (?), dari pada penyediaan yang besar secara berkelanjutan demi PDU anggota, misalnya. Ia menjadi semacam kondisi yang disodorkan oleh ilustrasi: mana yang dulu ada: telur atau ayam? Proses itu lebih dari sekedar merancang User Interface (UI) yang perlu menghadirkan pengalaman (User Experience – UX) yang ingin diperoleh dari penggunaan sebuah teknologi/aplikasi.
Proses adopsi itu tergantung oleh banyak hal, dua di antaranya adalah faktor kemudahan dan kepentingan. Menjadi mudah karena biasa dan dapat dibilang ‘mudah’ karena dianggap penting (untuk dilakukan – yaitu: hadirnya niat). Soal kebiasaan antara lain dibentuk oleh struktur yang ada di dalam masyarakat. Menurut Marx, struktur kemasyarakatan itu dibentuk oleh sistem ekonomi yang berjalan dalam kehidupan seseorang.
Pertanyaan di atas baru dapat mulai dijawab setelah kita dapat menjabarkan jawaban dari pertanyaan: Bagaimana membuat seniman Indonesia menganggap teknologi yang ditawarkan itu mudah dan penting untuk ada di dalam hidupnya. Di sini kita perlu mencari tahu sistem ekonomi yang membentuk masyarakat Indonesia di masa kini. Bila sudah diketahui, kita baru dapat menjawab pertanyaan itu dan merancang suatu strategi, atau mungkin perlu dibangun suatu sistem ekonomi baru yang dapat membentuk struktur dan kemudian kebiasaan baru?
Membangun dan mengadakan suatu aplikasi digital adalah suatu persoalan praktikal. Persoalan yang perlu dipikirkan lebih jauh dan dilakukan secara pararel dengan soal praktis tadi, adalah bagaimana menjawab persoalan-persoalan ideologis – yang lekat pada kehidupan seniman (manusia) sehari-hari.
Leave a Reply