2000_November_Edisi 118_bahas:
Translokasi Gajah
Roy Candra Yudha#723
Perjalanan ini memang sudah direncanakn 2 bulan sebelumnya. Tetapi baru terwujud sekarang, kami adalah tim pertama yang terdiri dari Daniel sebagai koordinator Tim 1, Felix, Bambang Palupi dan Reza Marlon. Kami mengunjungi desa Air Badui yang sekaligus sebagai peder bekerjasama dengan 5 tim penanggulanagan gajah yaitu Dinas Kehutanan Provinsi, KSDA, Dinas Peternakan, Pemda dan WWF Tn. Bukit Tigapuluh kami bermaksud untuk merelokasikan gajah yang terjebak di antara 5 buah desa, karena semakin banyaknya laporan konflik yang diinformasikan oleh penduduk setempat. Inilah sekilas perjalanan kami.
Hari Pertama, Sabtu 02/09/2000
Sudah beberapa hari perjalanan yang melelahkan akhirnya pukul 00.30 kami tiba di kantor WWF Pematang Reba. Kami disambut oleh salah seorang staf WWF, Mangara Silalahi. Beberapa menit kemudian kami diantarkan ke sebuah mess putra yang lokasinya tidak jauh dari kantor. Usai mandi dan bebenah, kami langsung terlelap untuk mengumpulkan tenaga di esok hari. Pagi hari kami berkumpul kembali di kantor untuk mendapat pengarahan dan keterangan dari Mangara mengenai lokai dan rencana selanjutnya.
Pukul 17.00, kami sudah dijemput oleh Heri, yaitu seorang supir Pak Barita. Selama beberapa jam tibalah kami di Desa Air Badui, Kec. Keritang yang berpenduduk 642 orang ini. Di desa inilah terjadinya konflik antara gajah dan penduduk Air Badui yang kesemuanya adalah muslim dan sebagian besar kehidupannya berasal dari bertani dan berladang, Kami tiba pukul 20.30. Di balai desa menemui Kepada desa dan Pak Nukman dari KSDA yang bertugas sebagai Koordinator lapangan dan penanggung jawab atas translokasi ini.
Sambil duduk santai kami menyimak penjelasan dari Pak Nukman bahwa Dinas Kehutanan berencana akan memindahkan 18 ekor gajah lagi sampai bulan Desember, 4 ekor sudah tertangkap, 2 diantaranya mati karena diambil paksa oleh kawanannya sendiri dan sisanya telah dibebaskan di TNBT Kamp. 52. Konflik antara gajah dan masyarakat ini memang telah dimulai sejak tahun 1979, namun perkembangan terakhir semakin memanas. Di sebelah Timur TNBT yang berada di luar kawasan Taman Nasional terdapat sekitar 22 ekor gajah yang terjebak di area seluas 4800 ha. Mereka terfregmentasi dengan adanya pemukiman penduduk local yang kini semakin penuh oleh pendatang dan luasnya perkebunan kelapa sawit yang mempersempit ruang jelajah gajah. Walhasil gajah tersebut terjebak di antara 5 buah desa yang mengelilingi, yaitu: Talang Jangkong, Kemuning Tuo, Limau Manis, Sikara dan Air Badui, sehingga kerap kali mengganggu penduduk.
Belum beberapa menit kami menyimak, tiba-tiba pukul 20.50 datang 2 orang pengendara motor yang trengah-engah melaporkan bahwa ada 2 ekor gajah di jalur 2. Tanpa komando kami bersama para pawang dan kru penangkap gajah segera berangkat menuju lokasi. Dengan membawa mobil kijang dan truk. Kurang lebih ½ jam perjalanan kami tiba di perkebunan dan langsung menyisir daerah tersebut. Setelah lama menyisir kami tidak menemukan gajah yang dimaksud melainkan hanya bekas-bekasnya jejak dan kerusakan yang dibuatnya. Diikuti dengan penduduk kami terus mencari, sampai mereka menunjukkan 3 buah pondokan yang sengaja dibangun warga untuk menjaga perkebunan yang sudah hancur kemarin malam diratakan oleh sang gajah. Salah seorang kakek yang sempat berjaga-jaga juga menceritakan pengalamannya kemarin malam, bahwa ia sempat berlari-lari ketika gajah memporak-porandakan pondokannya.
Karena tak menemukan gajah, kami berkendaraan kijang memulai kembali pencarian di Hutan Hrang yang terletak di perbatasan desa Air Badui dan Sekara. Sepanjang perjalanan kami tak henti-hentinya menyoroti pepohonan dan ilalang dengan senter. Dengan situasi jalan yang rusak dan licin akibat hujan, mobil kami terus melaju dengan susah payah sampai tiba di sebuah jembatan. Kami menemukan kotoran gajah yang benar-benar baru. Diiringi dengan suara binatang malam dan sorotan senter yang remang-remang kearah ilalang yang lebat dengan perasaan cemas, segera kami turun dan memeriksa keadaan sekitar. Tiba-tiba dari sebelah kiri jembatan terdengar suara auman gajah. Karuan saja kami menjadi cemas dan gelisah dicampur rasa takut apabila gajah tersebut tiba-tiba datang dan menyerang kami.
Sensasi yang tidak memungkinkan menyebabkan kami harus berputar kembali dan sempat mendengar kesakitan penduduk setempat. Kami kembali lagi ke balai desa yang biasa kami sebut sebagai posko dan terlebih dahulu meninjau seekor gajah yang tertangkap 10 hari yang lalu yang diberi nama Amoy.
Leave a Reply