2001_Juli_Edisi 126_Bahas:
sudah jarang, dilarang pula
Ade Tanesia
Sungguh malang nasib penerbitan Indonesia. Sudah dianggap miskin denga jumlah buku yang diterbitkan, masih pula ada larangan-larangan yang dikeluarkan pemerintah. Dan malah belum lama ini, ada sekelompok masyarakat ikut-ikutan sweeping buku. Padahal, jika menengok ke luar, Indonesia termasuk negara yang sangat miskin akan bahan bacaan. Bandingkan misalnya dengan India yang sama-sama negara miskin, jumlah bacaan yang beredar di msyarakat jauh lebih memadai (lih. Buku di Indonesia: Jendela Dunia yang Berkarat). Setidaknya, menyetir pernyataan Franz Magnis Suseno dalam diskusi “Pro Konta Pemusnahan Buku” di Balai Pustaka pertengahan Mei lalu, buku bukanlah hal gampang bagi masyarakat. Karena buku harus dibeli, dan tidak setiap informasi yang dibutuhkan masyarakat itu dapat ditemukan di toko buku.
Jika menengok kembali sejarah pelarangan buku di Indonesia, maka kita akan melihat jejak bahwa begitu banyak informasi yang seharusnya diketahui oleh masyarakat itu kemudian ditutup. Ironisnya, alasan-alasan pelarangan buku tersebut tidak jelas karena banyak buku yang seharunya memberikan pengetahuan bagi masyarakat, dilarang hanya karena pengarangnya dinyatakan eks anggota partai tertentu yang dilarang, bukan karena isi dari bukunya. Sehingga, pada kesimpulannya, pemerintah telah melarang kebebasan berekspresi si pengarang yang sangat bertentangan denga hak asasi manusia.
Sebagai suatu karya intelektual, seyogianya buku diperlakukan sesuai dengan sifat dasarnya, yaitu disidangkan dalam mimbar akademik, bukan dipadankan dengan pasal-pasal hukum. Penulis diberi kesempatan untuk mempertanggung jawabkan karyanya di hadapan para pakar. Buku yang secara ilmiah terbukti salah dan menyesatkan harus terbuka untuk kepentingan penelitian ilmiah, agar tidak terulang lagi dan dapat koreksi pada penerbitan berikutnya.
Sebagaimana yang dipublikasikan oleh Human Right Watch, diperkirakan ada sekitar 2000 buku yang pernah dilarang di Indonesia di masa Orde Baru. Namun begitu, yang dicatat dan dipublikasikan oleh Kejaksaan Agung selama lebih dari 30 tahun itu hanya sekitar 200 buku. Dalam laporan Komnas disebutkan alasan pelarangan buku tersebut karena dinilai mengganggu kepentingan umum, baik karena isinya maupun karena tokoh penulisnya. Dari data yang ada, ternyata alasan pelarangan yang paling banyak adalah alasan keagamaan (47%), seperti misalnya “anti Tuhan”, menghina salah satu agama yang diakui di Indonesia”, atau “mengancam kerukunan hidup umat beragama”. Buku-buku yang masuk dalam kategori terlarang karena sosial agama misalnya adalah Kasih yang Menyelamatkan (Herman OTM Simanjuntak). Apologia (Hamran Ambrie), dan Heboh Ayat-ayat Setan (Bambang Siswoyo). Alasan lain pelarangan buku adalah yang bermuatan politik, macam yang bertentangan dengan GBHN, berbau suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), merendahkan kepemimpinan nasional, mengancam persatuan dan kesatuan (29%). Contohnya Demi Demokrasi (Gerakan Demi Hak-hak Asasi Manusia dan Demokrasi), Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno (Peter D. Scott), dan Indonesia di bawah Sepatu Lars (Sukmadji I Tjahjojo). Kategori berikutnya adalah buku-buku yang berhubungan dengan upaya merongrong ideology, bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, serta yang mengandung ajaran komunisme atau marxisme (20%). Termasuk disini buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (Harry A. Poeze), Geger Lampung dan Kaum Sempalan (Bambang Siswoyo), dan Pemuda Islam Menggugat (Abdul K Djaelani).
Alasan pornografi muncul belakangan. Jumlahnya pun bisa dihitung dengan jari, seperti Adik Baru, Menjaga Keseimbangan antara Kebutuhan Sex dan Kesehatan. Selama ini yang dipakai sebagai dasar untuk melakukan pelarangan buku adalah Undang Undang No 4 Tahun 1963, tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum. Meskipun definisi tentang ketertiban umum itu sendiri belum jelas. Di masa sekarang, pelarangan buku tidak lagi sesuai dengan jaman di mana akses informasi kian terbuka lebar. Perangkat-perangkat hukum yang menjerat penerbit mau tidak mau harus segera dicabut karena selain tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, juga memasung pembentukan masyarakat madani. Dan kita tidak ingin lagi kehilangan makna sebenarnya dari kebebasan berekspresi sesuai yang diamanatkan dalam Pasal 28 UUD 1945.
Leave a Reply