2000_September_Edisi 116_peduli:
stop curiga antar lsm
Joni Faizal
Jumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) selama dasawarsa terakhir ini mengalami pertumbuhan luar biasa. Dalam catatan Beets, tidak kurang dari 2.000 kelompok LSM tersebar tidak saja di kota-kota besar di Jawa, tapi juga meluas ke pelbagai daerah terpencil hingga kawasan yang tidak mudah dijangkau di seluruh wilayah Indonesia. Tak hanya jumlahnya, tapi bidang atau masalah yang ditanganinya pun meningkat luar biasa. Masalah-masalah yang menjadi perhatian itu tidak saja mencakup masalah lingkungan, gender, kesehatan, hak masyarakat adat, eksploitasi buruh, perlindungan anak, namun mencakup juga masalah politik hingga kepartaian.
Namun bersamaan dengan makin meluasnya masalah-masalah yang ditangani dan banyaknya jenis LSM yang hampir sejenis, terjadi pula saling tarik-menarik kepentingan anti-LSM untuk kelompoknya masing-masing. Banyak program LSM disusun berdasarkan kepentingannya sendiri. Dan sering kali kegiatannya tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat. Sehingga, makin tampak kenyataan bahwa LSM—meminjam istilah Zalm Saidi—makin dipandang dan dipedulikan sebagai sumber-sumber uang: uang, kedudukan dan ketenaran. Akibatnya, LSM mulai terjangkiti penyakit yang dulu hendak diperanginya, seperti nepotisme atau koncoisme, bahkan—menurut sinyalemen sebagian orang juga bentuk-bentuk korupsi.
Gerakan LSM yang seharusnya untuk mencegah dampak buruk pembangunan yang berbasiskan gerakan rakyat, pada kenyataannya hanya merupakan “hamba-hamba proyek”. Tidak sedikit LSM yang merasa bahwa merekalah yang paling berhak dan mengerti masalah tertentu dan tidak memberikan kesempatan kepada LSM lain untuk melakukan kegiatan yang seharusnya dapat dilakukan oleh LSM itu. Pada akhirnya tarik-menarik ini menjadi lebih luas lagi dengan saling berkompetisi antar-LSM. Belakangan timbul kritik masyarakat bahwa LSM cendenrung partisan, bersifat sektoral, ketergantungan pada bantuan luar negeri sangat tinggi, serta tidak jarang cari muka demi popularitas. Gagasan-gagasan perubahan diserukan keluar, sambil mempertahankn status quo di dalam. Sehingga kompetisi antar LSM ini memberikan prasangka bahwa LSM lain dianggap tidak mampu menangani masalahnya. Sementara “perjuangan”LSM itu sendri semakin tak kunjung kelihatan dampaknya.
Dan perlu disayangkan, bahwa banyak juga LSM yang bukan bagian dari gerakan masyarakat (civil society). Hal ini tercermin dari penelitian kolaboratif yang dilakukan Mansour Fakih, disebutkan bahwa posisi structural ideology LSM sebagai bagian dari hegemoni negara. Karenanya, terdapat indikasi teoritis dari penelitian itu bahwa sebagian besar gerakan LSM di Indonesia lebih merupakan bagian dari negara ketimbang dari masyarakat sipil (Fakih, 2000).
Siapa yang salah atas situasi demikian? Tentu saja sulit untuk mencari kambing hitamnya sekaligus tidak bermanfaat. Lembaga-lembaga donor jelas ikut berperan, karena sering begitu gampang membagikan dana, tanpa visi jelas Cuma menekankan laporan keuangan yang asal secara teknis dapat dipertangungjawabkan. Aktivis-aktivis di dalam LSM sendiri juga menjadi penyokong terjadinya masalah ini. Karena itu, yang kita butuhkan adalah refleksi dari semua pihak secara jujur dengan hati terbuka dan kepala dingin. Pekerjaan rumah terbesar tentu terletak di pundak LSM sendiri. Barangkali perlu dimulai dengan mendefinisikan; kita ini siapa dan mau apa? Tanpa itu semua, kata Zaim, dikhawatirkan LSM kita akan jauh terbenam dalam keadaan disorientasi.
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara dari Elsam, dalam kutipan wawancara dengan majalah Panji, LSM tidak perlu lagi menekankan pada eksklusivisme kelembagaannya, tetapi sepatutnya berkoalisi, “Kerjasama antar-LSM atau orang lain sangat diperlukan, apalagi menyangkut pekerjaan besar, “tambahnya. Demikian pula pendapat Ons Untara. “Sekarang banyak forum LSM, tapi itu lebih untuk kepentingan forum yang ingin memperlihatkan ke lembaga donor bahwa mereka punya basis massa. Seharusnya bukan sekedar forum, tapi sebuah LSM dalam programnya juga meletakkan visi kerjasama dengan LSM lainnya. Menurut saya, jarang yang melakukan hal tersebut”. Memang dengan mempertimbangkan bobot masalah yang besar, LSM tidak cukup mampu menyelesaikan tugasnya sendiri . Kesadaran ini sudah mulai merebak, sehingga akhir-akhir ini muncul koalisi antar LSM yang berangkat dari kenbutuhan unutk memecahkan masalah lebih komprehensif. Jadi, sangat tidak beralasan jika antar-LSM saling memojokkan, saling mencurigai, dan saling mengeliminasi. Karena hal ini merupakan ciri-ciri rezim terdahulu yang “haram” untuk dilanjutkan.
Leave a Reply